# Ketentuan Penyembelihan Hewan
Penyembelihan hewan dilakukan dengan cara memotong hewan pada bagian leher (saluran nafas dan makanan serta urat nadi utama) dengan pisau atau benda tajam lainnya agar nyawa hewan tersebut hilang. Agar penyembelihan yang dilakukan sah dan daging hasil sembelihan halal untuk dikonsumsi, maka dalam proses penyembelihan harus sesuai secara ketentuan syar'i dalam islam.
Penyembelihan hewan dilakukan dengan cara sederhana dan tradisional, yaitu cukup dengan bantuan pisau atau benda tajam lainnya. Dapat juga dilakukan b secara mekanik, yaitu dengan peralatan modern berupa mesi n yang dibuat khusus uantuk pemotongan hewan. Penyembelihan secara sederhana atau tradisional pada umumnya dilakukan dalam skala kecil, sedangkan penyembelihan secara mekanik dilakukan dalam skala besar. Meskipun dua model penyembelihan tersebut memiliki perbedaan, tetapi harus tetap memerhatikan tata cara yang dibenarkan oleh syar'i.
1. Rukun Penyembelihan
a. Orang islam
b. Binatang yang disembelih adalah binatang yang masih hidup dan halal dagingnya
c. Alat yang digunakan untuk penyembelihan harus tajam
2. Sunah Penyembelihan
a. Membaca basmalah dan salawat atas Nabi Muhammad
b. Memotong dua urat yang ada di kanan dan kiri leher agar lekas mati
c. Binatang yang lehernya panjang, sunah disembelih di pangkal leher
d. Binatang yang disembelih itu digulingkan ke sebelah rusuknya yang kiri (supaya mudah menyemelihnya)
e. Dihadapkan ke kiblat (arah kiblat)
3. Cara Penyembelihan binatang
Menyembelih hewan dalam islam ada dua macam, yaitu Zabhun/Zabh (Menyembelih dengan posisi hewan berbaring dan Nahr (Menyembelih dengan posisi hewan berdiri). Penyembelihan dengan cara Nahr adalah cara untuk menyembelih unta. Adapun sapi dapat disembelih dengan cara Nahr dan Zabr.
4. Hikmah Penyembelihan
a. Hewan yang disembelih pada saluran makanan dan saluran pernafasan menyebabkan darah mengalir sehingga hewan mati karena kehabisan darah. Darah yang mengelir dari hewan yang disembelih menyebabkan daging tidak tercemar oleh darah.
b. Penyebutan nama Allah Swt. pada saat menyembelih merupakan wujud sikap ikhlas kepada Allah Swt., agar mendapat keridaa dan keberkahan dari Allah Swt.
c. Anjuran menyembelih pada bagian leher supaya lebih cepat mati. Tujuan penyembelihan dengan benda tajam adalah untuk mempercepat matinya hewan tersebut, sehingga tidak menyiksa hewan yang disembelih.
# Ketentuan Akikah
Akikah berasal dari bahasa arab "iqqah" yang artinya bulu atau rambut anak (makhluk) yang baru lahir. Ada juga yang mengatakan bahwa akikah merupakan nama bagi hewan yang disembelih. Sedangkan menurut istilah artinya menyembeih hewan tertentu sehubungan dengan kelahiran anak, sesuai dengan ketentuan syarak. Hukum melaksanakan akikah adalah sunah muakad bagi orang tua yang mampu. Pada hari itu dicukur rambutnya dan di beri nama yang baik. Jika belum dapat melaksanakannya boleh dikamudian hari, asal anak tersebut belum sampai balig (dewasa). Rasulullah Saw. bersabda :
"Setiap anak laki-laki rungguhan/tergadai dengan akikahnya, yang disembelih setelah mencapai usia tujuh hari, dan dicukur rambutnya serta diberi nama. (H.R. Ahmad dan Imam empat disahihkan oleh Tirmizi).
Hewan akikah adalah kambing dan domba. Bagi anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan bagi anak perempuan satu ekor. Jika tidak mampu menyembelih dua ekor kambing untuk bayi laki-laki cukuplah satu ekor saja. Akikah memiliki kegunaan untuk meningkatkan jiwa sosial, dan tolong menolong, menanamkan jiwa keagamaan kepada anak, juga sebagai tanda syukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan.
Bersamaan dengan pelaksanaan akikah kita juga dianjurkan untuk memotong sebagian rambut dari si anak dan memberikan nama yang bagus kepada si anak, karena dengan nama yang bagus akan memberikan pengaruh psikologis bagi si anak untuk percaya diri di dalam pergaulan. Nama adalah sebagai identitas diri, di samping itu nama merupakan satu pengharapan dan do'a dari kedua orang tua.
Syarat yang harus diperhatikan dalam melaksanakan akikah, antara lain sebagai berikut :
a. Orang yang menyembelih hendaknya seorang muslim yang sudah balig dan berakal sehat
b. Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat sebagai berikut : kambing atau domba harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat, Hewan yang disembelih sudah cukup umur (sekurang-kurangnya dua tahun), daging untuk akikah sepertiga bagian untuk dimakan orang yang berakikah, sepertiga bagian disedekahkan, dan sepertiga bagian lagi untuk dibagikan kepada orang lain. Pembagian hewan akikah ini lebih baik dimasak.
Adapun tata cara penyembelih hewan akikah adalah sebagai berikut.
a. Berniat memotong hewan akikah
b. Penyembelihan dilakukan secara sengaja dan menyebut nama Allah Swt.
c. Alat menyembelih harus tajam dan tidak boleh menggunakan kuku, gigi, atau tulang
d. Hewan sembelihan digulingkan ke rusuk kirir dan dihadapkan ke arah kiblat
e. Menbaca salawat Nabi Muahammad Saw. dan keluarganya
Di antara fubgsi akikah adalah sebagai berikut.
a. Sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah Swt. atas karunia-Nya berupa kelahiran anak
b. Mengajak anak untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. sejak dini
c. Menunjukkan rasa tanggung jawab atas amanah yang di berikan Allah Swt.
d. Mempererat tali persaudaraan antartetangga
e. Menumbuhkan sikap kepedulian sosial terhadap fakir miskin
# Ketentuan Kurban
Menurut bahasa, kurban berasal dari bahasa Arab "qurb" atau "qurba" yang artinya dekat atau mendekati. Secara istilah kurban adalah menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi Syarat dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan dilakukan pada hari-hari tertentu. Kurban merupakan salah satu wujud syukur kita kepada Allah Swt. atas segala nikmat yang diberikan oleh-Nya.
"Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh, orang orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)". (Q.S. Al-Kautsar: 1-3)
"Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)". (Q.S. Al-Hajj: 34)
Ketentuan hewan Kurban :
a. Jenis hewan yang dikurbankan adalah unta, sapi, kerbau, kambing, dan domba
b. Hewan yang dijadikan untuk kurban hendaklah hewan jantan yang sehat, bersih, tidak ada cacat seperti buta, pincang, dan sebagainya
c. Hewan yang dikurbankan hendaknya cukup umur. Dikatakan cukup bila unta berumur lima tahun atau lebih, sapi atau kerbau berumur dua tahun, domba satu tahun, dab kambing dua tahun. Sapi dan kerbau untuk korban 7 orang, dan kambing setiap satu orang.
Waktu penyembelihan kurban adalah setelah sholat idul adha dan tiga hari setelah hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijah). Adapun hukum berkurban adalah sunah muakad sebagaimana hukum akikah. Akan tetapi, apabila dia mampu tetapi tidak menjalankan, hukumnya makruh.
Adapun tata cara penyembelihan hewan kurban antara lain :
a. Berniat memotong hewan korban
b. Binatang yang akan disembelih hendaknya dihadapkan ke arah kiblat
c. Membaca basmalah
d. Membaca salawat atas Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya
e. Membaca Takbir
f. Membaca doa kurban agar diterima oleh Allah Swt. Seperti "Ya Allah, ini perbuatan dari perintah-Mu, saya kerjakan karena-Mu, terimalah oleh-Mu amalku ini".
Berikut ini adalah beberapa fungsi pelaksanaan kurban dalam kehidupan :
a. Sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt. atas nikmat yang diberikan kepada kita
b. Mingikuta sunah Rasulullah
c. Melatih kesabaran dan jiwa rela berkorban, seperti pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s.
d. Mewujudkan kesetiakawanan dan kepedulian sosial
e. Mengikis sifat tamak dan mewujudkan sifat murah hati, mau membelanjakan harta di jalan Allah Swt.
Jumat, 03 April 2015
Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan kekhususan dan keistimewaan Umat Islam yang akan mempengaruhi kemulian Umat Islam. Sehingga Allah mendahulukan penyebutannya di depan lafal iman dalam firman-Nya,
"Kamu adalah Umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Ali Imron :110)
Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan Amar ma’ruf nahi munkar ini. Allah berfirman,
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah:71)
Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
”Dalam ayat ini Allah menjelaskan, Ummat Islam adalah Ummat terbaik bagi segenap Ummat manusia. Ummat yang paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Ummat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang semua kemunkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa,
"Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.(Surat Al-Maidah : 21-24)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
"Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim." (Al-Baqarah:246).
"Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan bagi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang”. (Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar, hal 34. Kitab ini telah diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan, Solo).
Demikianlah anugerah Allah kepada Ummat Islam. Dia menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah,
"(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Surat Al- A’raaf : 157).
Kemudian Allah menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan Ummat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Al-Imron:104)
Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman ataupun tempat. Meliputi seluruh ummat dan bangsa, dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban Ummat Islam sejak masa Rasulullah sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.
(Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan Makalah Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi Anil Munkar Bainal Ifraath wat Tafriith, karya Dr.Ali Nashir Al Faqihiy, dalam Majalah Al-Furqaan edisi 144, 21 Shafar 1422 H, hal.20 serta Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Munkar, Ibnu Taimiyah). Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada Umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para Ulama.
Firman Allah ,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Al-Imran:104).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian Ummat ini yang menegakkan perkara ini“. (Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405).
Dan firman-Nya,
"Kamu adalah Ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (Al-Imran :110).
Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,
”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk Ummat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya“. (Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453).
Sabda Rasulullah ,
"Barang siapa yang melihat satu kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (Riwayat Muslim).
Sedangkan Ijma’ kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:
Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata,
“Seluruh Ummat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”. (Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19).
Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,
”Allah telah menegaskan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur’an, lalu dijelaskan Rasulullah dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya“. (Al-Jashash, Ahkamul Qur’an , 2/486)
An-Nawawi berkata,
”telah banyak dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ yang menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar“. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22).
Asy-Syaukaniy berkata,
”Amar ma’ruf nahi munkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari’at terbesar dalam syari’at. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya“. (Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450).
(Disarikan dari buku Hakikat Al-Amr Bil Ma’ruf wan-Nahi ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al-Amaar, hal.40-51dengan perubahan). Amar ma’ruf nahi munkar sebagai satu kewajiban atas Ummat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.
Memandang kewajiban tersebut adalah fardhu ‘Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir (Lihat Tafsir Al-Quran Al-‘Adhim karya Ibnu Katsir 1/390) , Az Zujaaj, Ibnu Hazm (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 10/505).. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya : Firman Allah ,
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran:104)
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu:
Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib ‘ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:
"Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib."
Firman Allah ,
"Kamu adalah Umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Ali Imran :110).
Dalam ayat ini, Allah menjadikan syarat bergabung dengan Ummat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma’ruf nahi munkar dan iman. Padahal bergabung kepada Ummat ini, hukumnya fardu ‘ain. Sebagaimana firman-Nya:
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata,”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surat Fushilat :33)
Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan Ummat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,
”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk Ummat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”
Memandang amar ma’ruf nahi munkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash (Al Jashosh, Ahkamul Qur’an, 2/29) , Al-Mawardiy, Abu Ya’la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy (Al Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, 4/165). , Ibnu Qudamah (Ibnu Qudamah, Mukhtashor Minhajul Qashidiin, hal.156), An-Nawawiy (An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/23), Ibnu Taimiyah (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Munkar , hal.37), Asy-Syathibiy (Asy Syathibiy, Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy Syari’at, 1/126) dan Asy-Syaukaniy (Asy Syaukaiy, Fathul Qadir, 1/450). Firman Allah ,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran:104).
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah.
Imam Al Jashash menyatakan, ”Ayat ini mengandung dua makna".
Pertama, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban”. (Al Jashash, Ahkamul Qur’an, 2/29).
Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma’ruf nahi munkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain”. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hal 156).
Firman Allah ,
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (At-Taubah : 122)
Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.
Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan,
”Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya” (As Sa’diy, Taisir Karimir Rahman, 3/315, lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar, hal. 43).
Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan amar makruf nahi munkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi munkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemunkaran dan mencegah kema’rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.
Firman Allah ,
"(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan." (QS. 22:41)
Imam Al Qurthubiy berkata,”Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya” (Al Qurthubi, Tafsir Qurthubi, 4/165).
Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,
”Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahi ‘Anil Munkar, hal.37).
Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi munkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.
Pelaku amar makruf nahi munkar adalah orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu ‘ain. Karena pelaku fardhu ‘ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu ‘ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.
Amar makruf nahi munkar dapat menjadi fardhu ‘ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :
Pertama. Ditugaskan oleh pemerintah. Al Mawardi menyatakan,
”Sesungguhnya hukum amar makruf nahi munkar fardhu ‘ain dengan perintah penguasa“. (Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, hal.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar hal.50).
Kedua. Hanya dia yang mengetahui kema’rufan dan kemunkaran yang terjadi. An Nawawiy berkata,
”Sesungguhnya amar makruf nahi munkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada di tempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia“. (An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23).
Ketiga, Kemampuan amar makruf nahi munkar hanya dimiliki orang tertentu.
Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi munkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain bagi mereka. An Nawawi berkata,
”Terkadang amar makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemunkaran atau tidak berbuat kema’rufan“. (An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23).
Keempat, Perubahan keadaan dan kondisi.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata,
“Ketika sedikitnya para da’i. Banyaknya kemunkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya“. (Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hal. 16).
Melihat realitas Ummat Islam sekarang maka nampaknya amar ma’ruf nahi munkar menjadi kewajiban atas setiap orang. Hal ini tentunya membutuhkan pengorbanan dalam menegakkannya. Apalagi Islam yang paripurna ditetapkan Allah untuk kemaslahatan makhlukNya dan menghilangkan semua jenis kemudhoratan. Oleh karenanya dalam amar ma’ruf nahi munkar tidak mungkin lepas dari permasalahan maslahat dan mafsadat, yang tentunya didasarkan dengan timbangan syari’at bukan sekedar prasangka dan dugaan semata.
Akan tetapi, fenomena yang ada sekarang ini banyak amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan tidak dengan prosedur syari’at, sehingga terjadi fitnah dan kemunkaran yang besar menimpa kaum muslimin. Lebih celaka lagi orang lemah dan tidak berdosapun ikut menanggung akibatnya. Demikianlah sunnatullah, jika timbul fitnah maka akan menimpa orang yang zhalim dan yang sholih, sebagaimana firman Allah :
"Dan peliharalah dirimu dari pada fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. 8:25).
Tentunya hal ini tidak kita harapkan terjadi terus menerus. Namun kitapun tidak boleh apriori dan merasa tidak bertanggung jawab untuk beramar ma’ruf nahi munkar, lantas berdalih dengan kenyataan diatas untuk meninggalkan kewajiban yang mulia ini.
Amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan semata untuk kemaslahatan manusia, kemaslahatan bagi yang berbuat kemunkaran (untuk berhenti dari kemunkarannya), kemaslahatan bagi pelaku amar ma’ruf nahi munkar dan kemaslahatan bagi yang belum melakukannya. Rasulullah bersabda dalam hadits An Nu’man bin Basyir :
"Perumpamaan orang yang teguh menjalankan hukum Allah dan orang yang terjerumus didalamnya bagaikan satu kaum yang membagi tempat diatas perahu, sebagian mendapat tempat di bawah dan sebagian di atas. Orang yang di bawah memerlukan air melalui orang yang di atas, lalu hal itu mengganggu mereka. Kemudian (orang yang di bawah) mengambil kampak dan mulai melobangi perahu. Datanglah orang-orang yang di atas dan berkata:” kenapa berbuat demikian?” dia menjawab:”kalian terganggu oleh saya, padahal saya mesti mengambil air” jika mereka menahannya, maka mereka menyelamatkannya dan menyelamatkan diri mereka sendiri; dan jika membiarkannya maka mereka membinasakannya dan membinasakan diri mereka semua." (Riwayat Bukhori).
Untuk itulah para Ulama mengerahkan segala kemampuannya untuk menggariskan kaidah amar ma’ruf nahi munkar. Garis besar penerapan yang dapat digunakan oleh kaum muslimin di setiap tempat dan waktu, sehingga amar ma’ruf nahi munkar menjadi rahmat bagi manusia.
Rukun Amar Makruf Nahi Munkar.
Amar ma’ruf nahi munkar memiliki empat rukun, yaitu:
1. Pelaku amar ma’ruf nahi munkar
2. Amalan kema’rufan dan kemunkaran
3. Orang yang meninggalkan kema’rufan dan pelaku kemunkaran (obyek amar ma’ruf nahi munkar)
4. Perbuatan amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri.
Kaidah Beramar Makruf Nahi Munkar
Melihat rukun-rukun amar makruf nahi munkar diatas maka dapat kita jabarkan kaidah dan garis besar penerapan amar ma’ruf nahi munkar sebagai berikut :
Pertama: Kaedah Yang Berhubungan Dengan Pelaku Amar Makruf Nahi Munkar
Pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat terpuji dan akhlak mulia. Di antara sifat pelaku amar ma’ruf nahi munkar yang terpenting adalah:
1. Ikhlas
Hendaklah seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar manjadikan tujuannya keridhaan Allah semata, tidak mengharapkan balasan dan syukur dari orang lain. Demikianlah yang dilakukan para Nabi, Allah berfirman:
"Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." (QS.Asy-Syu’araa` 26:145)
"Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." (QS. Asy-Syu’araa`26:127)
"Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." (QS. Asy-Syu’araa` 26:109)
2. Berilmu.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“…akan tetapi niat terpuji yang diterima Allah dan menghasilkan pahala adalah yang semata-mata untuk Allah . Sedangkan amal terpuji lagi sholeh adalah itu yang diperintahkan Allah… Jika hal itu menjadi batasan seluruh amal sholih, maka wajib bagi pelaku amar ma’ruf nahi munkar memiliki keriteria tersebut dalam dirinya, dan tidak dikatakan amal sholih apabila dilakukan tanpa ilmu dan fiqih, sebagaiman pernyataan Umar bin Abdil Aziz: “Orang yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya labih besar dari kemaslahatan yang dihasilkannya” …ini sangat jelas, karena niat dan amal tanpa ilmu merupakan kebodohan, kesesatan dan mengikuti hawa nafsu….maka dari itu ia harus mengetahui kema’rufan dan kemunkaran dan dapat membedakan keduanya serta harus memiliki ilmu tentang keadaan yang diperintah dan dilarang.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/135-137, dengan sedikit pemotongan).
Kemudian beliau berkata dalam mendefinisikan ilmu tersebut:
“Dan Ilmu tersebut adalah syariat Allah yang dibawa oleh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinamakan juga sulthon, sebagaimana firmanNya:
"(Yaitu) orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka.Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman.Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang." (Surat mu’min 40:35)
Barang siapa yang berbicara agama tanpa ilmu yang dibawa Rasulullohshallallahu ‘alaihi wa sallam,maka dia berbicara tanpa ilmu. Dan siapa yang dipimpin syiethon maka dia menyesatkannya dan menyeretnya ke adzab neraka.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/39).
Ketidak tahuan pelaku amar ma’ruf nahi munkar tentang apa yang dia seru dan ingkari dapat menjerumuskannya kepada bencana dan fitnah yang banyak, terkadang muncul dengan sebabnya kerusakan yang beraneka ragam serta hilangnya kemaslahatan yang dia inginkan.
3. Rifq
Rifq (lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan serta selalu mangambil yang mudah). (Lihat definisi Rifq di Fathul Bari 10/449).
Rifq adalah sifat para nabi dan rasul ketika mengingkari kelakuan buruk kaumnya, lihatlah firmanNya dalam kisah Musa:
"Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thoha 20:43-44)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dalam berdakwah kepada semua manusia, seperti yang diriwayatkan Aisyah , beliau berkata:
Sekelompok orang yahudi menemui Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Assaamu ‘alaikum”. Lalu Aisyah memjawab: “Wa’alaikum assaam”. Lalu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “sabar wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai rifq dalam seluruh perkara”. Lalu beliau berkata: “wahai Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”, beliau menjawab: “ya, dan saya sudah ucapkan: “‘alaikum”.” (Riwayat Bukhori, No.6024)
Bahkan beliau bersabda:
"Sesungguhnya rifq, tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya." (Riwayat Muslim No. 2594).
Demikian pentingnya sifat rifq ini, sehingga berkata Sufyaan Ats Tsauriy :
“Tidak beramar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: rifq, adil dan berilmu dalam mengajak dan mencegah.“ (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar hal. 93).
Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang amar ma’ruf nahi munkar, beliau menjawab:
“Para sahabat Abdillah bin Mas’ud jika melewati satu kaum, yang mereka lihat melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, berkata: “sabar, sabar, semoga Allah merahmati kalian“.” (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar hal. 93).
Dengan rifq (kelembutan) tabiat menerima dan mengerti bahaya kemunkaran, sehingga pelaku kemunkaran tersebut dapat kembali dan menerima ajakan tersebut-dengan izin Allah.
4. Sabar
Kesabaran merupakan perkara yang sangat penting dalam seluruh perkara manusia, apalagi dalam amar ma’ruf nahi munkar, karena pelaku amar ma’ruf nahi munkar bergerak di medan perbaikan jiwanya dan jiwa orang lain. Sehingga Luqman mewasiati anaknya untuk bersabar dalam amar ma’ruf nahi munkar :
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqmaan 31:17)
Demikian juga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaik-baik pelaku amar ma’ruf nahi munkar selalu bersabar atas segala musibah dan rintangan dari orang yang didakwahinya. Lihatlah kisah Anas bin Malik tentang hal ini dalam pernyataan beliau:
"Aku berjalan bersama Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengenakan pakaian (burd) Najron yang kasar pinggirannya, lalu seorang A’robi (Arab Badui) memegangnya dan menariknya dengan keras sampai aku melihat leher Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ada bekas selendangnya, karena kerasnya tarikan. Kemudian dia berkata: “berikan kepadaku sebagian harta Allah yang kamu miliki!”. Lalu beliau menengoknya dan tertawa, setelah itu beliau memerintahkan untuk memberikannya." (Riwayat Bukhori no.3149).
Demikian pentingnya sabar bagi seorang muslim, sehingga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk bersabar, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqaash, beliau bertanya:
"Wahai Rasululloh siapakah orang yang paling keras cobaannya? Beliau menjawab: “para Nabi kemudian yang mendekatinya,kemudian yang mendekatinya, sampai seorang hamba dicoba sesuai dengan agamanya tersebut. Jika agamanya kuat maka dicoba sesuai dengan agamanya, dan jika terdapat kelemahan dalam agamanya, maka dicoba sesuai dengan agamanya”, beliau bersabda lagi:”senantiasa cobaan menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di muka bumi tanpa dosa”. (Riwayat al-Bukhori).
Arti penting ketiga sifat ini diutarakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataannya:
“Ia harus memiliki tiga sifat, yaitu Ilmu, Rifq dan Sabar. Ilmu sebelum melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar; harus lembut dalam melaksanakannya dan harus sabar (atas konsekwensi (pent)) setelahnya. Ketiga sifat ini harus selalu bersama dalam setiap keadaan.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar, hal 57).
5. Melihat dan mengukur kemaslahatan dan kemudhorotan.
Di antara hal yang perlu sekali diperhatikan seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar adalah mengukur dan melihat kemaslahatan yang ditimbulkan. Karena Syari’at ditegakkan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan.
Syeikhul Islam menjelaskan kaidah ini dalam pernyataannya:
“Amar ma’ruf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan lebih besar kemunkaran. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemunkaran yang lebih besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat (rajih) darinya” (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hal124).
Ibnul Qayyim berkata dalam menjelaskan hal ini:
“Allah Ta’ala telah mensyariatkan kewajiban mengingkari kemunkaran, untuk mendapatkan kema’rufan yang dicintai Allah dan RasulNya. Jika ingkar munkar menghasilkan kemunkaran yang lebih besar dan lebih dibenci Allah dan rasulNya, maka tidak boleh.
Ingkar munkar memiliki empat derajat:
# kemunkarannya hilang dan digantikan dengan kema’rufan.
# kemunkaran berkurang walaupun tidak hilang seluruhnya.
# kemunkaran hilang diganti dengan kemunkaran yang semisalnya.
# kemunkaran tersebut diganti dengan yang lebih berat.
Dua derajat yang pertama disyariatkan (untuk dilaksanakan), derajat ketiga kembali ke ijtihat pelakunya, sedang yang keempat diharomkan (pelaksanaannya).
Jika kamu melihat orang jahat dan fasiq bermain catur-misalnya-, maka pengingkaranmu dikatakan tidak didasarkan fiqih dan ilmu, kecuali jika kamu memalingkan mereka kepada sesuatu yang lebih Allah dan RasulNya cintai; seperti bermain panah dan balap kuda serta yang sejenisnya. Jika kamu melihat orang fasiq berkumpul pada satu amalan yang sia-sia atau mendengarkan tepuk tangan dan siulan, maka jika kamu membawa mereka kepada ketaatan Allah, maka itu yang dicari; kalau tidak, membiarkan mereka demikian lebih baik dari memberikan kesempatan kepada mereka berbuat lebih buruk dari itu, karena amalan mereka tersebut menyibukkan mereka untuk tidak beramal yang lebih jelek. Demikian juga jika ada seorang yang sibuk membaca buku berisi kefasikan atau yang sejenisnya, lalu kamu khawatir pindahnya mereka kebuku bid’ah, sesat dan sihir, maka lebih baik biarkan dia dengan buku tersebut. Ini merupakan pembahasan yang luas sekali.
Aku mendengar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah- semoga Allah mensucikan ruhnya- mengatakan: “Saya dan sebagian sahabatku di zaman Tartar melewati satu kaum yang meminum khomr. Salah seorang yang bersamaku mengingkari mereka, lalu saya cegah. Saya katakan padanya: “Allah mengharamkan khomr karena dia menghalangi zikir dan sholat, sedangkan khomr menghalangi mereka dari membunuh, menawan anak-anak serta merampok, maka biarkanlah mereka..” (Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 3/4-5, lihat Hamd Al Amaar, Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan Nahyi ‘Anil munkar hal. 95 dan Ali Hasan, Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31-32).
Permasalahan maslahat dan mafsadat sangat penting dalam syari’at Islam, khususnya amar ma’ruf nahi munkar, sehingga Syeikhul Islam menyatakan:
“Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).
Kemudian beliau mencela orang yang beramar ma’ruf nahi munkar tanpa memperhatikan hal ini, dalam pernyataan beliau:
“Orang yang ingin amar ma’ruf nahi munkar baik dengan lisannya, atau dengan tangannya begitu saja tanpa fiqih, hilm, kesabaran, tidak memandang apa yang maslahat dan yang tidak maslahat dan tidak mengukur mana yang mampu dan yang tidak dimampui…… Lalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan keyakinan mentaati Allah dan RasulNya, namun hakikatnya dia telah melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala (bermaksiat (pent)).” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 43-45).
Kaidah ini dapat diperinci sebagai berikut: (Diambil dari kitab Hakikat Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 96-100, Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47-48 dan Dhawaabith Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 36-40 serta majmu’ fatawa jilid 20).
Jika kemaslahatan lebih besar dari mafsadatnya, maka disyari’atkan beramar ma’ruf nahi munkar. Syeikhil Islam menyatakan:
“Jika amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang agung atau sunnah, maka mesti kemaslahatan yang ada padanya lebih besar dari mafsadatnya, karena demikianlah para rasul diutus dan kitab-kitab suci diturunkan. Sedangkan Allah Ta’ala tidak menyukai kerusakan, bahkan seluruh perintahNya adalah kebaikan. Dia memuji kebaikan dan pelakunya serta orang yang beriman dan beramal sholih. Diapun mencela kerusakan dan orang yang melakukan kerusakan dalam banyak ayat di Al Qur’an.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 39).
Jika mafsadat lebih besar dari kemaslahatannya, maka diharamkan beramar ma’ruf nahi munkar, karena menolak mafsadat lebih didahulukan dari mendapat kemaslahatan.
Syeikhul Islam berkata:
“Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at. Kapan saja seseorang sanggup melaksanakan apa yang diperintahkan syari’at, maka jangan berpaling darinya. Jika tidak, maka hendaklah ia berijtihad untuk mengetahui yang serupa dan sama, dan sedikit sekali orang yang pakar terhadap nash-nash dan penunjukannya terhadap hukum tidak menemukannya.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).
Dan berkata juga:
“Jika ajakan melakukan ketaatan mendatangkan kemaksiatan yang lebih besar, maka ditinggalkan ajakan tersebut untuk menolak adanya kemaksiatan itu. Seorang alim dalam bayan dan balagh , terkadang mengakhirkan bayan dan balaghnya karena sesuatu sampai pada waktu yang pas, sebagaimana Allah Ta’ala mengakhirkan turunnya Ayat dan penjelasan hukum sampai waktu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menjelaskannya” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 20/58-59).
Jika mafsadat dan maslahat sama besarnya, tidak disyariatkan amar ma’ruf nahi munkar, karena tujuan dari pensyari’atan hukum-hukum adalah untuk menolak mafsadat dan mendapatkan maslahat bagi manusia.
Syeikhul Islam berkata:
“Jika perkara ma’ruf dan munkar sama dominant dan tak terpisah, maka amar ma’ruf nahi munkar tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Terkadang amar ma’ruflah yang harus dilakukan dan terkadang nahi munkarlah yang harus dilakukan atau terkadang kedua-duanya tidak dilaksanakan, karena kema’rufan dan kemunkaran tidak terpisahkan.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahyi ‘anil Munkar, hal 48).
Jika mafsadat berbilang ketika pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, hal ini tidak lepas dari dua hal:
a. Mesti terjerumus pada salah satunya, seperti buah simalakama, maka dilaksanakan yang paling sedikit kemudhoratannya, untuk menolak yang lebih besar.
Syeikhul Islam berkata seputar permasalahan ini:
“Demikian pula jika berkumpul dua keharaman, tidak mungkin meninggalkan yang terbesar kecuali melakukan yang lebih kecil (mafsadahnya). Melakukan hal itu pada saat ini tidak dikatakan haram secara hakikat, Jika dinamakan hal itu meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman secara penamaan, maka tidak mengapa. Dan dikatakan demikian juga, seseorang yang meninggalkan kewajiban dan mengamalkan keharaman karena maslahat yang lebih besar, atau darurat, atau mencegah yang lebih haram darinya” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fataawa 20/57).
b. Tidak mesti terjerumus pada salah satunya, maka hukumnya berusaha menghindari keduanya, sesuai dengan kaidah fiqhiyah: (Lihat pengertian kaidah ini di kitab Syarah Al Qawaaid Al Fiqhiyah karya Ahmad bin Muhammad Az Zarqaa’).
Kemudhoratan dihilangkan.
Dan:
kemudhoratan tidak dihilangkan dengan semisalnya.
Kemudhoratan dicegah sedapat mungkin.
Demikianlah pentingnya mengenal standar maslahat dan mafsadat dalam amar ma’ruf nahi munkar. lihatlah contoh yang disampaikan Ibnu Taimiyah dalam perkataan beliau:
“Pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi Abdillah bin Ubai bin Salul dan para pengikutnya, para tokoh kemunafikan dan kefujuran, disebabkan mereka memiliki simpatisan fanatik. Menghilangkan kemunkarannya dengan sejenis hukuman justru menghilangkan kemaslahatan yang lebih banyak, dengan sebab kemarahan dan asabiyah (pembelaan karena merasa satu kaum (pent)) kaumnya. Demikian juga antipati manusia ketika mereka mendengar Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh sahabatnya sendiri. Oleh karena itu ketika beliau berkhutbah di hadapan manusia tentang peristiwa ifki (tuduhan dusta kepada ‘Aisyah, pent)) dengan khutbahnya dan memaafkannya. Lalu Saad bin Mu’adz mengucapkan perkataan yang sangat menyentuh. (Kisah ini disampaikan dalam khutbah beliau berbunyi: Saad bin Ubadah dengan kesempurnaan iman dan sidiqnya masih terbakar emosi kesukuannya, setiap orang dari mereka bertaashub (saling membela karena kefanatikan (pent)) terhadap sukunya, sampai hampir terjadi fitnah” (Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Makruf wan Nahi ‘anil Munkar, hal 48-49).
Demikian juga Imam Ibnul Qayyim menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau:
“Barang siapa yang meneliti fitnah yang besar atau kecil yang terjadi dalam Islam, akan melihat hal itu disebabkan karena melalaikan pokok kaedah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemunkaran. Menuntut hilangnya kemunkaran, akan tetapi lahir darinya kemunkaran yang lebih besar. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melihat di Makkah satu kemunkaran besar dan tidak dapat merubahnya, bahkan ketika Allah taklukan Makkah dan menjadi negeri Islam, beliau bertekad untuk merubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dasar bangunan Nabi Ibrohim. Akan tetapi tercegah -walaupun beliau mampu- kekhawatiran munculnya sesuatu yang lebih besar dari itu, berupa tantangan Quraisy, karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu tidak diizinkan mengingkari para penguasa dengan tangan, karena akan menghasilkan kemunculan sesuatu yang lebih besar darinya.”(Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’iin, 4/3, lihat Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 39-40).
6. Hendaknya pelaku amar ma’ruf nahi munkar mengenal dan mengetahui kaidah Saddudz dzara’I (menahan sesuatu yang dapat mengantar kepada kemunkaran).
Sebagaimana digunakan Allah Ta’ala dalam firmanNya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 6:108)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan hal itu dalam hadits :
"Dari Shofiyah binti Huyaiy, beliau berkata:”Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku datang menziarahinya pada satu malam. Saya berbicara kepada beliau, lalu bangkit untuk pulang. Kamudian beliau bangkit untuk mengantarkanku, lalu lewatlah dua orang anshor. Ketika beliau melihat keduanya mempercepat jalan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Perlahanlah kalian, sesungguhnya dia adalah Shofiyah binti Huyaiy.” Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh.” Beliau berkata: ” sesungguhnya Syeithon masuk ke dalam manusia melalui aliran darah dan aku khawatir dia memasukkan kejelekan ke dalam hati kalian berdua.”. (Riwayat al-Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits ini, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah prasangka buruk kedua orang tersebut dengan pemberitahuannya.
7. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara syar’I dan adil, sehingga tidak berlebihan dalam membenci, mencela, melarang atau mengisolirnya.
Hal ini diingatkan syeikhul Islam dalam menjelaskan sebagian ketentuan amar ma’ruf nahi munkar, beliau berkata:
“Tidak menyakiti ahli maksiat melebihi ketentuan syari’at, baik dalam membenci, mencela, mencegah, mengisolir atau menghukumnya. Bahkan disampaikan kepada orang yang disakiti: “perhatikanlah dirimu saja, orang yang sesat tidak merugikanmu, jika kamu mendapat petunjuk; sebagaimana firman Allah Ta’ala :
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Surat Al Maidah.:8)
Dan firmanNya:
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al Baqoroh:190)
Dan firmanNya:
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim." (QS. 2:193)
Karena kebanyakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar terkadang melampaui batasan, adakalanya karena kebodohan dan kadang karena kedzoliman. Permasalahan ini harus dilakukan dengan ketelitian, baik dalam mengingkari kemunkaran terhadap orang kafir, munafik, fasik atau orang yang bermaksiat.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 14/481-482).
Kemudian dia berkata lagi:
“Hendaklah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mengikuti tuntunan syari’at, dari ilmu, rifq, kesabaran, niat yang ikhlas dan mengikuti jalan yang lurus”.
8. Hendaklah menjadi teladan bagi orang lain, karena pengaruh mencontoh dan meniru cukup besar dalam diri orang yang didakwahi.
Oleh karena itu Allah Ta’ala jadikan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam contoh teladan terbaik agar manusia mencontoh seluruh perbuatan dan perkataannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. 33:21)
Sehingga seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaklah merasa bahwa Islam memerintahkannya mengikuti teladan yang baik, teladan para Rasul, orang sholeh dan mulia. Hendaklah dia menjadi salah satu dari mereka tersebut, agar menjadi contoh teladan dalam perkataan dan perbuatan yang baik. Imam Al Hasan Al Bashriy berkata:
“Penasehat adalah orang yang menasehati manusia dengan amalannya, bukan ucapannya. Demikianlah keadaan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ingin memerintahkan sesuatu, beliau mulai dari dirinya dan berbuat. Jika ingin melarang sesuatu, beliau berhenti darinya“ (Dinukil dari Fiqhud Dakwah fii Inkaril Munkar, hal. 50).
Jangan sampai menjadi contoh jelek dalam masyarakat, sehingga termasuk orang yang dicela oleh Allah dalam firmanNya:
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir." (QS. Al-Baqarah 2:44)
dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
"Didatangkan pada hari kiamat seorang, lalu dilemparkan ke neraka, sehingga usus-ususnya keluar di neraka, lalu dia berputar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Ahli neraka berkumpul mengelilinginya, mereka berkata: “Wahai fulan, kenapa kamu ini? Bukankah dulu engkau beramar ma’ruf nahi munkar?” dia menjawab: “Saya dulu beramar ma’ruf dan saya tidak melaksanakannya dan mencegah kemunkaran dan saya melakukannya”. (Riwayat al-Bukhori No. 3267dan Muslim No.2989).
Mereka inilah yang dikatakan Ibnul Qayyim: ulama su’ (ulama jahat), dalam pernyataan beliau :
“Ulama su’ adalah orang yang duduk di pintu syurga, menyeru manusia ke syurga dengan ucapannya dan menyeru ke neraka dengan perbuatannya. Setiap kali ucapannya mengajak manusia: ‘kemarilah’. Maka berkata perbuatannya: ‘Janganlah kalian mendengarkannya; seandainya apa yang mereka seru adalah kebenaran, tentunya dia orang pertama yang menerimanya.’ Mereka secara lahiriyah adalah penunjuk kebenaran dan secara hakikat adalah perampok”. (Ibnul Qayyim, Al Fawaaid, hal 94.`)
Dengan demikian pelaku amar ma’ruf nahi munkar harus menjadi teladan baik dalam masyarakatnya. Tentunya hal ini tidak lepas dari taufiq Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian tarbiyah yang shohih
Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Hukum Islam
"Amar ma'ruf nahi munkar" merupakan kewajiban bagi setiap "Muslim" yang mukallaf, yang mampu dan mengetahui serta menyaksikan soal "ma'ruf" ditinggalkan orang atau mengerjakan yang "munkar".
Dan ia mempunyai kesanggupan untuk memerintah atau mengubah dengan tangan atau lidahnya. Kewajiban "amar ma'ruf nahi munkar" merupakan kewajiban agama yang terbesar sesudah iman kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ali 'Imran Ayat 110: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar", dan beriman kepada Allah...."
Kewajiban "amar ma'ruf nahi munkar" ini berdasarkan firman Allah dan sunah Rasulullah, antara lain sebagai berikut:
1. Allah memerintahkan "amar ma'ruf nahi munkar" melalui firman-Nya dalam Surat Ali 'Imran Ayat 104:
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar"; merekalah orang-orang yang beruntung."
2. Allah memberitahukan kepada para penolong dan para wali-Nya bahwa mereka pasti akan menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar". Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Hajj Ayat 41:
"(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang "ma'ruf" dan mencegah dari perbuatan-perbuatan yang "munkar"...."
Allah juga berfirman dalam Surat At-Taubah Ayat 71:
"Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang "ma'ruf", mencegah dari yang "munkar", mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya......"
Firman Allah dalam menceritakan wali-Nya Luqman ketika ia menasihati anaknya, dalam Surat Luqman Ayat 17:
"Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang "munkar" dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."
Firman Allah yang menyatakan kesalahan Bani Israil dalam Surat Al-Ma'idah Ayat 78-79:
"Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan "munkar" yang mereka perbuat. Sesungguhnya amal buruklah yang selalu mereka perbuat itu."
Firman Allah yang menceritakan Bani Israil yang telah diselamatkan Allah karena mereka menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar". Dan Allah telah membinasakan mereka yang meninggalkannya. Hal ini difirmankan Allah dalam Surat Al-A'raf Ayat 165:
"... Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang dzalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik."
3. Hadits Riwayat Muslim, menjelaskan bahwa Rasulullah menyuruh kita untuk ber"amar ma'ruf nahi munkar", sebagaimana sabdanya:
"Barangsiapa yang melihat sesuatu yang "munkar", maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidak bisa dengan lidahnya (dengan ucapan). Kalau tidak bisa pula maka wajib dengan hatinya (membencinya) dan hal itu termasuk iman yang paling lemah."
Hadits Riwayat Tirmidzi, hadits hasan, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Kamu benar-benar harus menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar". Kalau tidak, Allah akan menurunkan siksa padamu, kemudian kamu berdo'a, maka do'amu tidak diterima."
Hadits Riwayat Abu Daud, Ibn Majah dan Tirmidzi, hadits hasan, menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda:
"Hai Sa'labih, hendaklah kamu mengajak kepada yang "ma'ruf" dan mencegah yang "munkar". Apabila kamu melihat kebatilan dituruti, hawa nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan tiap-tiap orang merasa benar sendiri, maka jagalah dirimu dan tinggalkan orang-orang bodoh itu. Karena di belakangmu banyak fitnah seperti malam kelam. Sesungguhnya orang yang berpegang teguh pada agama, pada saat demikian itu dan misalnya kamu berada disitu, maka kamu memperoleh pahala lima puluh kali dari golonganmu. Nabi ditanya: Apakah lima puluh kali dari mereka ya Rasulullah? Nabi menjawab: Bukan, tapi dari golonganmu, sebab kamu memperoleh kebaikan dari penolong-penolong yang kamu temukan, sedang mereka tidak menemukan penolongnya."
Hadits Riwayat Muslim, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Tiada seorang Nabi yang diutus sebelumku melainkan mempunyai sahabat-sahabat yang setia, yang mengikuti benar-benar tuntunan ajarannya. Kemudian lahir generasi di belakang mereka yang hanya banyak bicara dan tidak suka berbuat dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan, maka siapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya, ia Mukmin. Dan siapa yang menentang dengan lidahnya, juga Mukmin dan siapa yang membenci mereka dengan hatinya, iapun Mukmin. Selain dari itu tidak ada lagi iman walaupun seberat biji sawi."
Hadits Riwayat Ibn Majah, Ahmad dan Nasa'i, hadits sahih, menjelaskan bahwa Nabi SAW ketika ditanya jihad yang paling utama, Nabi menjawab:
"Menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim."
Adab dan Etika
1. Setiap orang "Muslim" hendaknya mengetahui hakikat yang diperintahkan bahwa hal itu benar merupakan hal yang "ma'ruf" berdasarkan hukum syariat. Dan kadang yang "ma'ruf" itu tidak dikerjakan orang. Demikian pula ia harus mengetahui hakikat perbuatan "munkar" yang dilarang dan harus diberantas. Dan kadang yang "munkar" dalam kenyataan dilakukan orang. Juga yang "munkar" itu termasuk berbagai maksiat dan diharamkan serta diingkari oleh hukum syariat.
2. Orang yang meksanakan "amar ma'ruf nahi munkar" hendaknya adalah orang yang saleh yang tidak pernah meninggalkan perintah Allah dan tidak berbuat maksiat. Sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat As-Saff Ayat 2-3: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan."
Allah juga berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 44:
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?"
3. Hendaklah ia berakhlak mulia, penyabar, menyuruh dengan lemah lembut dan melarang secara halus, ia tidak emosi bila apa yang dilarangnya dikerjakan orang dan tidak marah bila orang yang disuruhnya itu menyakiti hatinya. Ia harus penyabar, pemaaf dan berlapang dada, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Surat Luqman Ayat 17, yang telah dijelaskan di atas.
4. Janganlah menggunakan cara memata-matai dalam mengenal ke"munkar"an, karena cara seperti ini tidak layak untuk dipergunakan. Misalnya mengintai orang di rumahnya, membuka baju seseorang untuk mengetahui apa yang dibawanya dan membuka tutup bejana untuk mengetahui isinya. Karena syariat menyuruh menutup aurat dan melarang memata-matai mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Hujurat Ayat 12:
".... dan ujanganlah kamu mencari cari kesalahan orang..."
Hadits Riwayat Muslim, menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa menutupi kesalahan orang "Muslim", maka Allah akan menutupi kesalahannya di dunia dan di akhirat."
5. Sebelum menyuruh orang melakukan perbuatan "ma'ruf" dan meninggalkan yang "munkar", hendaklah lebih dahulu kita memberikan contoh, karena terkadang orang tidak mengetahuinya apakah perbuatan itu "ma'ruf" atau "munkar".
6. "Amar ma'ruf nahi munkar" hendaknya dilakukan dengan cara yang baik. Bila orang meninggalkan dan mengerjakan yang "munkar", berikanlah ia nasihat yang menyejukkan hatinya dengan menuturkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mendorong supaya ia mau melakukan yang "ma'ruf" dan meninggalkan yang "munkar". Apabila dengan cara demikian tidak berhasil, gunakanlah kata-kata yang keras dan tegas. Apabila ini masih tidak berhasil dan tidak digubris serahkan saja kepada yang berwajib atau minta bantuan kawan.
7. Apabila tidak sanggup mendobrak ke"munkar"an dengan kekuatan fisik dan tidak juga dengan perkataan karena khawatir terhadap keselamatan jiwa, harta atau kehormatannya, dan tidak sanggup bersabar akibat yang akan menimpa dirinya, maka cukup menghadapi ke"munkar"an dengan hatinya, yaitu merasa benci terhadap perbuatan tersebut. Hal ini didasarkan pada ajaran Rasulullah yaitu apabila tidak sanggup dengan tangan, maka cukup dengan hatinya.
"Kamu adalah Umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Ali Imron :110)
Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan Amar ma’ruf nahi munkar ini. Allah berfirman,
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah:71)
Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
”Dalam ayat ini Allah menjelaskan, Ummat Islam adalah Ummat terbaik bagi segenap Ummat manusia. Ummat yang paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Ummat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang semua kemunkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa,
"Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.(Surat Al-Maidah : 21-24)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
"Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim." (Al-Baqarah:246).
"Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan bagi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang”. (Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar, hal 34. Kitab ini telah diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan, Solo).
Demikianlah anugerah Allah kepada Ummat Islam. Dia menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah,
"(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Surat Al- A’raaf : 157).
Kemudian Allah menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan Ummat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Al-Imron:104)
Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman ataupun tempat. Meliputi seluruh ummat dan bangsa, dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban Ummat Islam sejak masa Rasulullah sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.
(Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan Makalah Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi Anil Munkar Bainal Ifraath wat Tafriith, karya Dr.Ali Nashir Al Faqihiy, dalam Majalah Al-Furqaan edisi 144, 21 Shafar 1422 H, hal.20 serta Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Munkar, Ibnu Taimiyah). Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada Umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para Ulama.
Firman Allah ,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Al-Imran:104).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian Ummat ini yang menegakkan perkara ini“. (Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405).
Dan firman-Nya,
"Kamu adalah Ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (Al-Imran :110).
Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,
”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk Ummat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya“. (Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453).
Sabda Rasulullah ,
"Barang siapa yang melihat satu kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (Riwayat Muslim).
Sedangkan Ijma’ kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:
Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata,
“Seluruh Ummat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”. (Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19).
Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,
”Allah telah menegaskan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur’an, lalu dijelaskan Rasulullah dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya“. (Al-Jashash, Ahkamul Qur’an , 2/486)
An-Nawawi berkata,
”telah banyak dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ yang menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar“. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22).
Asy-Syaukaniy berkata,
”Amar ma’ruf nahi munkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari’at terbesar dalam syari’at. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya“. (Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450).
(Disarikan dari buku Hakikat Al-Amr Bil Ma’ruf wan-Nahi ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al-Amaar, hal.40-51dengan perubahan). Amar ma’ruf nahi munkar sebagai satu kewajiban atas Ummat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.
Memandang kewajiban tersebut adalah fardhu ‘Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir (Lihat Tafsir Al-Quran Al-‘Adhim karya Ibnu Katsir 1/390) , Az Zujaaj, Ibnu Hazm (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 10/505).. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya : Firman Allah ,
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran:104)
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu:
Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib ‘ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:
"Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib."
Firman Allah ,
"Kamu adalah Umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Ali Imran :110).
Dalam ayat ini, Allah menjadikan syarat bergabung dengan Ummat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma’ruf nahi munkar dan iman. Padahal bergabung kepada Ummat ini, hukumnya fardu ‘ain. Sebagaimana firman-Nya:
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata,”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surat Fushilat :33)
Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan Ummat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,
”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk Ummat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”
Memandang amar ma’ruf nahi munkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash (Al Jashosh, Ahkamul Qur’an, 2/29) , Al-Mawardiy, Abu Ya’la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy (Al Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, 4/165). , Ibnu Qudamah (Ibnu Qudamah, Mukhtashor Minhajul Qashidiin, hal.156), An-Nawawiy (An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/23), Ibnu Taimiyah (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil Munkar , hal.37), Asy-Syathibiy (Asy Syathibiy, Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy Syari’at, 1/126) dan Asy-Syaukaniy (Asy Syaukaiy, Fathul Qadir, 1/450). Firman Allah ,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran:104).
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah.
Imam Al Jashash menyatakan, ”Ayat ini mengandung dua makna".
Pertama, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban”. (Al Jashash, Ahkamul Qur’an, 2/29).
Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma’ruf nahi munkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain”. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hal 156).
Firman Allah ,
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (At-Taubah : 122)
Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.
Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan,
”Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya” (As Sa’diy, Taisir Karimir Rahman, 3/315, lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar, hal. 43).
Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan amar makruf nahi munkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi munkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemunkaran dan mencegah kema’rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.
Firman Allah ,
"(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan." (QS. 22:41)
Imam Al Qurthubiy berkata,”Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya” (Al Qurthubi, Tafsir Qurthubi, 4/165).
Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,
”Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahi ‘Anil Munkar, hal.37).
Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi munkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.
Pelaku amar makruf nahi munkar adalah orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu ‘ain. Karena pelaku fardhu ‘ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu ‘ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.
Amar makruf nahi munkar dapat menjadi fardhu ‘ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :
Pertama. Ditugaskan oleh pemerintah. Al Mawardi menyatakan,
”Sesungguhnya hukum amar makruf nahi munkar fardhu ‘ain dengan perintah penguasa“. (Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, hal.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar hal.50).
Kedua. Hanya dia yang mengetahui kema’rufan dan kemunkaran yang terjadi. An Nawawiy berkata,
”Sesungguhnya amar makruf nahi munkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada di tempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia“. (An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23).
Ketiga, Kemampuan amar makruf nahi munkar hanya dimiliki orang tertentu.
Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi munkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain bagi mereka. An Nawawi berkata,
”Terkadang amar makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemunkaran atau tidak berbuat kema’rufan“. (An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23).
Keempat, Perubahan keadaan dan kondisi.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata,
“Ketika sedikitnya para da’i. Banyaknya kemunkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya“. (Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du’at, hal. 16).
Melihat realitas Ummat Islam sekarang maka nampaknya amar ma’ruf nahi munkar menjadi kewajiban atas setiap orang. Hal ini tentunya membutuhkan pengorbanan dalam menegakkannya. Apalagi Islam yang paripurna ditetapkan Allah untuk kemaslahatan makhlukNya dan menghilangkan semua jenis kemudhoratan. Oleh karenanya dalam amar ma’ruf nahi munkar tidak mungkin lepas dari permasalahan maslahat dan mafsadat, yang tentunya didasarkan dengan timbangan syari’at bukan sekedar prasangka dan dugaan semata.
Akan tetapi, fenomena yang ada sekarang ini banyak amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan tidak dengan prosedur syari’at, sehingga terjadi fitnah dan kemunkaran yang besar menimpa kaum muslimin. Lebih celaka lagi orang lemah dan tidak berdosapun ikut menanggung akibatnya. Demikianlah sunnatullah, jika timbul fitnah maka akan menimpa orang yang zhalim dan yang sholih, sebagaimana firman Allah :
"Dan peliharalah dirimu dari pada fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. 8:25).
Tentunya hal ini tidak kita harapkan terjadi terus menerus. Namun kitapun tidak boleh apriori dan merasa tidak bertanggung jawab untuk beramar ma’ruf nahi munkar, lantas berdalih dengan kenyataan diatas untuk meninggalkan kewajiban yang mulia ini.
Amar ma’ruf nahi munkar disyariatkan semata untuk kemaslahatan manusia, kemaslahatan bagi yang berbuat kemunkaran (untuk berhenti dari kemunkarannya), kemaslahatan bagi pelaku amar ma’ruf nahi munkar dan kemaslahatan bagi yang belum melakukannya. Rasulullah bersabda dalam hadits An Nu’man bin Basyir :
"Perumpamaan orang yang teguh menjalankan hukum Allah dan orang yang terjerumus didalamnya bagaikan satu kaum yang membagi tempat diatas perahu, sebagian mendapat tempat di bawah dan sebagian di atas. Orang yang di bawah memerlukan air melalui orang yang di atas, lalu hal itu mengganggu mereka. Kemudian (orang yang di bawah) mengambil kampak dan mulai melobangi perahu. Datanglah orang-orang yang di atas dan berkata:” kenapa berbuat demikian?” dia menjawab:”kalian terganggu oleh saya, padahal saya mesti mengambil air” jika mereka menahannya, maka mereka menyelamatkannya dan menyelamatkan diri mereka sendiri; dan jika membiarkannya maka mereka membinasakannya dan membinasakan diri mereka semua." (Riwayat Bukhori).
Untuk itulah para Ulama mengerahkan segala kemampuannya untuk menggariskan kaidah amar ma’ruf nahi munkar. Garis besar penerapan yang dapat digunakan oleh kaum muslimin di setiap tempat dan waktu, sehingga amar ma’ruf nahi munkar menjadi rahmat bagi manusia.
Rukun Amar Makruf Nahi Munkar.
Amar ma’ruf nahi munkar memiliki empat rukun, yaitu:
1. Pelaku amar ma’ruf nahi munkar
2. Amalan kema’rufan dan kemunkaran
3. Orang yang meninggalkan kema’rufan dan pelaku kemunkaran (obyek amar ma’ruf nahi munkar)
4. Perbuatan amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri.
Kaidah Beramar Makruf Nahi Munkar
Melihat rukun-rukun amar makruf nahi munkar diatas maka dapat kita jabarkan kaidah dan garis besar penerapan amar ma’ruf nahi munkar sebagai berikut :
Pertama: Kaedah Yang Berhubungan Dengan Pelaku Amar Makruf Nahi Munkar
Pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat terpuji dan akhlak mulia. Di antara sifat pelaku amar ma’ruf nahi munkar yang terpenting adalah:
1. Ikhlas
Hendaklah seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar manjadikan tujuannya keridhaan Allah semata, tidak mengharapkan balasan dan syukur dari orang lain. Demikianlah yang dilakukan para Nabi, Allah berfirman:
"Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." (QS.Asy-Syu’araa` 26:145)
"Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." (QS. Asy-Syu’araa`26:127)
"Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam." (QS. Asy-Syu’araa` 26:109)
2. Berilmu.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“…akan tetapi niat terpuji yang diterima Allah dan menghasilkan pahala adalah yang semata-mata untuk Allah . Sedangkan amal terpuji lagi sholeh adalah itu yang diperintahkan Allah… Jika hal itu menjadi batasan seluruh amal sholih, maka wajib bagi pelaku amar ma’ruf nahi munkar memiliki keriteria tersebut dalam dirinya, dan tidak dikatakan amal sholih apabila dilakukan tanpa ilmu dan fiqih, sebagaiman pernyataan Umar bin Abdil Aziz: “Orang yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya labih besar dari kemaslahatan yang dihasilkannya” …ini sangat jelas, karena niat dan amal tanpa ilmu merupakan kebodohan, kesesatan dan mengikuti hawa nafsu….maka dari itu ia harus mengetahui kema’rufan dan kemunkaran dan dapat membedakan keduanya serta harus memiliki ilmu tentang keadaan yang diperintah dan dilarang.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/135-137, dengan sedikit pemotongan).
Kemudian beliau berkata dalam mendefinisikan ilmu tersebut:
“Dan Ilmu tersebut adalah syariat Allah yang dibawa oleh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinamakan juga sulthon, sebagaimana firmanNya:
"(Yaitu) orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka.Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman.Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang." (Surat mu’min 40:35)
Barang siapa yang berbicara agama tanpa ilmu yang dibawa Rasulullohshallallahu ‘alaihi wa sallam,maka dia berbicara tanpa ilmu. Dan siapa yang dipimpin syiethon maka dia menyesatkannya dan menyeretnya ke adzab neraka.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/39).
Ketidak tahuan pelaku amar ma’ruf nahi munkar tentang apa yang dia seru dan ingkari dapat menjerumuskannya kepada bencana dan fitnah yang banyak, terkadang muncul dengan sebabnya kerusakan yang beraneka ragam serta hilangnya kemaslahatan yang dia inginkan.
3. Rifq
Rifq (lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan serta selalu mangambil yang mudah). (Lihat definisi Rifq di Fathul Bari 10/449).
Rifq adalah sifat para nabi dan rasul ketika mengingkari kelakuan buruk kaumnya, lihatlah firmanNya dalam kisah Musa:
"Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thoha 20:43-44)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dalam berdakwah kepada semua manusia, seperti yang diriwayatkan Aisyah , beliau berkata:
Sekelompok orang yahudi menemui Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Assaamu ‘alaikum”. Lalu Aisyah memjawab: “Wa’alaikum assaam”. Lalu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “sabar wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai rifq dalam seluruh perkara”. Lalu beliau berkata: “wahai Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”, beliau menjawab: “ya, dan saya sudah ucapkan: “‘alaikum”.” (Riwayat Bukhori, No.6024)
Bahkan beliau bersabda:
"Sesungguhnya rifq, tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya." (Riwayat Muslim No. 2594).
Demikian pentingnya sifat rifq ini, sehingga berkata Sufyaan Ats Tsauriy :
“Tidak beramar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: rifq, adil dan berilmu dalam mengajak dan mencegah.“ (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar hal. 93).
Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang amar ma’ruf nahi munkar, beliau menjawab:
“Para sahabat Abdillah bin Mas’ud jika melewati satu kaum, yang mereka lihat melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai, berkata: “sabar, sabar, semoga Allah merahmati kalian“.” (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar hal. 93).
Dengan rifq (kelembutan) tabiat menerima dan mengerti bahaya kemunkaran, sehingga pelaku kemunkaran tersebut dapat kembali dan menerima ajakan tersebut-dengan izin Allah.
4. Sabar
Kesabaran merupakan perkara yang sangat penting dalam seluruh perkara manusia, apalagi dalam amar ma’ruf nahi munkar, karena pelaku amar ma’ruf nahi munkar bergerak di medan perbaikan jiwanya dan jiwa orang lain. Sehingga Luqman mewasiati anaknya untuk bersabar dalam amar ma’ruf nahi munkar :
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqmaan 31:17)
Demikian juga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaik-baik pelaku amar ma’ruf nahi munkar selalu bersabar atas segala musibah dan rintangan dari orang yang didakwahinya. Lihatlah kisah Anas bin Malik tentang hal ini dalam pernyataan beliau:
"Aku berjalan bersama Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengenakan pakaian (burd) Najron yang kasar pinggirannya, lalu seorang A’robi (Arab Badui) memegangnya dan menariknya dengan keras sampai aku melihat leher Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ada bekas selendangnya, karena kerasnya tarikan. Kemudian dia berkata: “berikan kepadaku sebagian harta Allah yang kamu miliki!”. Lalu beliau menengoknya dan tertawa, setelah itu beliau memerintahkan untuk memberikannya." (Riwayat Bukhori no.3149).
Demikian pentingnya sabar bagi seorang muslim, sehingga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk bersabar, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqaash, beliau bertanya:
"Wahai Rasululloh siapakah orang yang paling keras cobaannya? Beliau menjawab: “para Nabi kemudian yang mendekatinya,kemudian yang mendekatinya, sampai seorang hamba dicoba sesuai dengan agamanya tersebut. Jika agamanya kuat maka dicoba sesuai dengan agamanya, dan jika terdapat kelemahan dalam agamanya, maka dicoba sesuai dengan agamanya”, beliau bersabda lagi:”senantiasa cobaan menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di muka bumi tanpa dosa”. (Riwayat al-Bukhori).
Arti penting ketiga sifat ini diutarakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataannya:
“Ia harus memiliki tiga sifat, yaitu Ilmu, Rifq dan Sabar. Ilmu sebelum melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar; harus lembut dalam melaksanakannya dan harus sabar (atas konsekwensi (pent)) setelahnya. Ketiga sifat ini harus selalu bersama dalam setiap keadaan.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar, hal 57).
5. Melihat dan mengukur kemaslahatan dan kemudhorotan.
Di antara hal yang perlu sekali diperhatikan seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar adalah mengukur dan melihat kemaslahatan yang ditimbulkan. Karena Syari’at ditegakkan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan.
Syeikhul Islam menjelaskan kaidah ini dalam pernyataannya:
“Amar ma’ruf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan lebih besar kemunkaran. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemunkaran yang lebih besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat (rajih) darinya” (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hal124).
Ibnul Qayyim berkata dalam menjelaskan hal ini:
“Allah Ta’ala telah mensyariatkan kewajiban mengingkari kemunkaran, untuk mendapatkan kema’rufan yang dicintai Allah dan RasulNya. Jika ingkar munkar menghasilkan kemunkaran yang lebih besar dan lebih dibenci Allah dan rasulNya, maka tidak boleh.
Ingkar munkar memiliki empat derajat:
# kemunkarannya hilang dan digantikan dengan kema’rufan.
# kemunkaran berkurang walaupun tidak hilang seluruhnya.
# kemunkaran hilang diganti dengan kemunkaran yang semisalnya.
# kemunkaran tersebut diganti dengan yang lebih berat.
Dua derajat yang pertama disyariatkan (untuk dilaksanakan), derajat ketiga kembali ke ijtihat pelakunya, sedang yang keempat diharomkan (pelaksanaannya).
Jika kamu melihat orang jahat dan fasiq bermain catur-misalnya-, maka pengingkaranmu dikatakan tidak didasarkan fiqih dan ilmu, kecuali jika kamu memalingkan mereka kepada sesuatu yang lebih Allah dan RasulNya cintai; seperti bermain panah dan balap kuda serta yang sejenisnya. Jika kamu melihat orang fasiq berkumpul pada satu amalan yang sia-sia atau mendengarkan tepuk tangan dan siulan, maka jika kamu membawa mereka kepada ketaatan Allah, maka itu yang dicari; kalau tidak, membiarkan mereka demikian lebih baik dari memberikan kesempatan kepada mereka berbuat lebih buruk dari itu, karena amalan mereka tersebut menyibukkan mereka untuk tidak beramal yang lebih jelek. Demikian juga jika ada seorang yang sibuk membaca buku berisi kefasikan atau yang sejenisnya, lalu kamu khawatir pindahnya mereka kebuku bid’ah, sesat dan sihir, maka lebih baik biarkan dia dengan buku tersebut. Ini merupakan pembahasan yang luas sekali.
Aku mendengar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah- semoga Allah mensucikan ruhnya- mengatakan: “Saya dan sebagian sahabatku di zaman Tartar melewati satu kaum yang meminum khomr. Salah seorang yang bersamaku mengingkari mereka, lalu saya cegah. Saya katakan padanya: “Allah mengharamkan khomr karena dia menghalangi zikir dan sholat, sedangkan khomr menghalangi mereka dari membunuh, menawan anak-anak serta merampok, maka biarkanlah mereka..” (Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 3/4-5, lihat Hamd Al Amaar, Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan Nahyi ‘Anil munkar hal. 95 dan Ali Hasan, Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31-32).
Permasalahan maslahat dan mafsadat sangat penting dalam syari’at Islam, khususnya amar ma’ruf nahi munkar, sehingga Syeikhul Islam menyatakan:
“Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).
Kemudian beliau mencela orang yang beramar ma’ruf nahi munkar tanpa memperhatikan hal ini, dalam pernyataan beliau:
“Orang yang ingin amar ma’ruf nahi munkar baik dengan lisannya, atau dengan tangannya begitu saja tanpa fiqih, hilm, kesabaran, tidak memandang apa yang maslahat dan yang tidak maslahat dan tidak mengukur mana yang mampu dan yang tidak dimampui…… Lalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan keyakinan mentaati Allah dan RasulNya, namun hakikatnya dia telah melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala (bermaksiat (pent)).” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 43-45).
Kaidah ini dapat diperinci sebagai berikut: (Diambil dari kitab Hakikat Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 96-100, Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47-48 dan Dhawaabith Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 36-40 serta majmu’ fatawa jilid 20).
Jika kemaslahatan lebih besar dari mafsadatnya, maka disyari’atkan beramar ma’ruf nahi munkar. Syeikhil Islam menyatakan:
“Jika amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang agung atau sunnah, maka mesti kemaslahatan yang ada padanya lebih besar dari mafsadatnya, karena demikianlah para rasul diutus dan kitab-kitab suci diturunkan. Sedangkan Allah Ta’ala tidak menyukai kerusakan, bahkan seluruh perintahNya adalah kebaikan. Dia memuji kebaikan dan pelakunya serta orang yang beriman dan beramal sholih. Diapun mencela kerusakan dan orang yang melakukan kerusakan dalam banyak ayat di Al Qur’an.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 39).
Jika mafsadat lebih besar dari kemaslahatannya, maka diharamkan beramar ma’ruf nahi munkar, karena menolak mafsadat lebih didahulukan dari mendapat kemaslahatan.
Syeikhul Islam berkata:
“Apabila amar ma’ruf nahi munkar tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan, maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at. Kapan saja seseorang sanggup melaksanakan apa yang diperintahkan syari’at, maka jangan berpaling darinya. Jika tidak, maka hendaklah ia berijtihad untuk mengetahui yang serupa dan sama, dan sedikit sekali orang yang pakar terhadap nash-nash dan penunjukannya terhadap hukum tidak menemukannya.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).
Dan berkata juga:
“Jika ajakan melakukan ketaatan mendatangkan kemaksiatan yang lebih besar, maka ditinggalkan ajakan tersebut untuk menolak adanya kemaksiatan itu. Seorang alim dalam bayan dan balagh , terkadang mengakhirkan bayan dan balaghnya karena sesuatu sampai pada waktu yang pas, sebagaimana Allah Ta’ala mengakhirkan turunnya Ayat dan penjelasan hukum sampai waktu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menjelaskannya” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 20/58-59).
Jika mafsadat dan maslahat sama besarnya, tidak disyariatkan amar ma’ruf nahi munkar, karena tujuan dari pensyari’atan hukum-hukum adalah untuk menolak mafsadat dan mendapatkan maslahat bagi manusia.
Syeikhul Islam berkata:
“Jika perkara ma’ruf dan munkar sama dominant dan tak terpisah, maka amar ma’ruf nahi munkar tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Terkadang amar ma’ruflah yang harus dilakukan dan terkadang nahi munkarlah yang harus dilakukan atau terkadang kedua-duanya tidak dilaksanakan, karena kema’rufan dan kemunkaran tidak terpisahkan.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahyi ‘anil Munkar, hal 48).
Jika mafsadat berbilang ketika pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, hal ini tidak lepas dari dua hal:
a. Mesti terjerumus pada salah satunya, seperti buah simalakama, maka dilaksanakan yang paling sedikit kemudhoratannya, untuk menolak yang lebih besar.
Syeikhul Islam berkata seputar permasalahan ini:
“Demikian pula jika berkumpul dua keharaman, tidak mungkin meninggalkan yang terbesar kecuali melakukan yang lebih kecil (mafsadahnya). Melakukan hal itu pada saat ini tidak dikatakan haram secara hakikat, Jika dinamakan hal itu meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman secara penamaan, maka tidak mengapa. Dan dikatakan demikian juga, seseorang yang meninggalkan kewajiban dan mengamalkan keharaman karena maslahat yang lebih besar, atau darurat, atau mencegah yang lebih haram darinya” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fataawa 20/57).
b. Tidak mesti terjerumus pada salah satunya, maka hukumnya berusaha menghindari keduanya, sesuai dengan kaidah fiqhiyah: (Lihat pengertian kaidah ini di kitab Syarah Al Qawaaid Al Fiqhiyah karya Ahmad bin Muhammad Az Zarqaa’).
Kemudhoratan dihilangkan.
Dan:
kemudhoratan tidak dihilangkan dengan semisalnya.
Kemudhoratan dicegah sedapat mungkin.
Demikianlah pentingnya mengenal standar maslahat dan mafsadat dalam amar ma’ruf nahi munkar. lihatlah contoh yang disampaikan Ibnu Taimiyah dalam perkataan beliau:
“Pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi Abdillah bin Ubai bin Salul dan para pengikutnya, para tokoh kemunafikan dan kefujuran, disebabkan mereka memiliki simpatisan fanatik. Menghilangkan kemunkarannya dengan sejenis hukuman justru menghilangkan kemaslahatan yang lebih banyak, dengan sebab kemarahan dan asabiyah (pembelaan karena merasa satu kaum (pent)) kaumnya. Demikian juga antipati manusia ketika mereka mendengar Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh sahabatnya sendiri. Oleh karena itu ketika beliau berkhutbah di hadapan manusia tentang peristiwa ifki (tuduhan dusta kepada ‘Aisyah, pent)) dengan khutbahnya dan memaafkannya. Lalu Saad bin Mu’adz mengucapkan perkataan yang sangat menyentuh. (Kisah ini disampaikan dalam khutbah beliau berbunyi: Saad bin Ubadah dengan kesempurnaan iman dan sidiqnya masih terbakar emosi kesukuannya, setiap orang dari mereka bertaashub (saling membela karena kefanatikan (pent)) terhadap sukunya, sampai hampir terjadi fitnah” (Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Makruf wan Nahi ‘anil Munkar, hal 48-49).
Demikian juga Imam Ibnul Qayyim menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau:
“Barang siapa yang meneliti fitnah yang besar atau kecil yang terjadi dalam Islam, akan melihat hal itu disebabkan karena melalaikan pokok kaedah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemunkaran. Menuntut hilangnya kemunkaran, akan tetapi lahir darinya kemunkaran yang lebih besar. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melihat di Makkah satu kemunkaran besar dan tidak dapat merubahnya, bahkan ketika Allah taklukan Makkah dan menjadi negeri Islam, beliau bertekad untuk merubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai dasar bangunan Nabi Ibrohim. Akan tetapi tercegah -walaupun beliau mampu- kekhawatiran munculnya sesuatu yang lebih besar dari itu, berupa tantangan Quraisy, karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu tidak diizinkan mengingkari para penguasa dengan tangan, karena akan menghasilkan kemunculan sesuatu yang lebih besar darinya.”(Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’iin, 4/3, lihat Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 39-40).
6. Hendaknya pelaku amar ma’ruf nahi munkar mengenal dan mengetahui kaidah Saddudz dzara’I (menahan sesuatu yang dapat mengantar kepada kemunkaran).
Sebagaimana digunakan Allah Ta’ala dalam firmanNya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 6:108)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan hal itu dalam hadits :
"Dari Shofiyah binti Huyaiy, beliau berkata:”Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku datang menziarahinya pada satu malam. Saya berbicara kepada beliau, lalu bangkit untuk pulang. Kamudian beliau bangkit untuk mengantarkanku, lalu lewatlah dua orang anshor. Ketika beliau melihat keduanya mempercepat jalan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Perlahanlah kalian, sesungguhnya dia adalah Shofiyah binti Huyaiy.” Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh.” Beliau berkata: ” sesungguhnya Syeithon masuk ke dalam manusia melalui aliran darah dan aku khawatir dia memasukkan kejelekan ke dalam hati kalian berdua.”. (Riwayat al-Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits ini, Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah prasangka buruk kedua orang tersebut dengan pemberitahuannya.
7. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara syar’I dan adil, sehingga tidak berlebihan dalam membenci, mencela, melarang atau mengisolirnya.
Hal ini diingatkan syeikhul Islam dalam menjelaskan sebagian ketentuan amar ma’ruf nahi munkar, beliau berkata:
“Tidak menyakiti ahli maksiat melebihi ketentuan syari’at, baik dalam membenci, mencela, mencegah, mengisolir atau menghukumnya. Bahkan disampaikan kepada orang yang disakiti: “perhatikanlah dirimu saja, orang yang sesat tidak merugikanmu, jika kamu mendapat petunjuk; sebagaimana firman Allah Ta’ala :
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Surat Al Maidah.:8)
Dan firmanNya:
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al Baqoroh:190)
Dan firmanNya:
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim." (QS. 2:193)
Karena kebanyakan pelaku amar ma’ruf nahi munkar terkadang melampaui batasan, adakalanya karena kebodohan dan kadang karena kedzoliman. Permasalahan ini harus dilakukan dengan ketelitian, baik dalam mengingkari kemunkaran terhadap orang kafir, munafik, fasik atau orang yang bermaksiat.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 14/481-482).
Kemudian dia berkata lagi:
“Hendaklah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mengikuti tuntunan syari’at, dari ilmu, rifq, kesabaran, niat yang ikhlas dan mengikuti jalan yang lurus”.
8. Hendaklah menjadi teladan bagi orang lain, karena pengaruh mencontoh dan meniru cukup besar dalam diri orang yang didakwahi.
Oleh karena itu Allah Ta’ala jadikan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam contoh teladan terbaik agar manusia mencontoh seluruh perbuatan dan perkataannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. 33:21)
Sehingga seorang pelaku amar ma’ruf nahi munkar hendaklah merasa bahwa Islam memerintahkannya mengikuti teladan yang baik, teladan para Rasul, orang sholeh dan mulia. Hendaklah dia menjadi salah satu dari mereka tersebut, agar menjadi contoh teladan dalam perkataan dan perbuatan yang baik. Imam Al Hasan Al Bashriy berkata:
“Penasehat adalah orang yang menasehati manusia dengan amalannya, bukan ucapannya. Demikianlah keadaan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ingin memerintahkan sesuatu, beliau mulai dari dirinya dan berbuat. Jika ingin melarang sesuatu, beliau berhenti darinya“ (Dinukil dari Fiqhud Dakwah fii Inkaril Munkar, hal. 50).
Jangan sampai menjadi contoh jelek dalam masyarakat, sehingga termasuk orang yang dicela oleh Allah dalam firmanNya:
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir." (QS. Al-Baqarah 2:44)
dan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
"Didatangkan pada hari kiamat seorang, lalu dilemparkan ke neraka, sehingga usus-ususnya keluar di neraka, lalu dia berputar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Ahli neraka berkumpul mengelilinginya, mereka berkata: “Wahai fulan, kenapa kamu ini? Bukankah dulu engkau beramar ma’ruf nahi munkar?” dia menjawab: “Saya dulu beramar ma’ruf dan saya tidak melaksanakannya dan mencegah kemunkaran dan saya melakukannya”. (Riwayat al-Bukhori No. 3267dan Muslim No.2989).
Mereka inilah yang dikatakan Ibnul Qayyim: ulama su’ (ulama jahat), dalam pernyataan beliau :
“Ulama su’ adalah orang yang duduk di pintu syurga, menyeru manusia ke syurga dengan ucapannya dan menyeru ke neraka dengan perbuatannya. Setiap kali ucapannya mengajak manusia: ‘kemarilah’. Maka berkata perbuatannya: ‘Janganlah kalian mendengarkannya; seandainya apa yang mereka seru adalah kebenaran, tentunya dia orang pertama yang menerimanya.’ Mereka secara lahiriyah adalah penunjuk kebenaran dan secara hakikat adalah perampok”. (Ibnul Qayyim, Al Fawaaid, hal 94.`)
Dengan demikian pelaku amar ma’ruf nahi munkar harus menjadi teladan baik dalam masyarakatnya. Tentunya hal ini tidak lepas dari taufiq Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian tarbiyah yang shohih
Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Hukum Islam
"Amar ma'ruf nahi munkar" merupakan kewajiban bagi setiap "Muslim" yang mukallaf, yang mampu dan mengetahui serta menyaksikan soal "ma'ruf" ditinggalkan orang atau mengerjakan yang "munkar".
Dan ia mempunyai kesanggupan untuk memerintah atau mengubah dengan tangan atau lidahnya. Kewajiban "amar ma'ruf nahi munkar" merupakan kewajiban agama yang terbesar sesudah iman kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ali 'Imran Ayat 110: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar", dan beriman kepada Allah...."
Kewajiban "amar ma'ruf nahi munkar" ini berdasarkan firman Allah dan sunah Rasulullah, antara lain sebagai berikut:
1. Allah memerintahkan "amar ma'ruf nahi munkar" melalui firman-Nya dalam Surat Ali 'Imran Ayat 104:
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar"; merekalah orang-orang yang beruntung."
2. Allah memberitahukan kepada para penolong dan para wali-Nya bahwa mereka pasti akan menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar". Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Hajj Ayat 41:
"(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang "ma'ruf" dan mencegah dari perbuatan-perbuatan yang "munkar"...."
Allah juga berfirman dalam Surat At-Taubah Ayat 71:
"Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang "ma'ruf", mencegah dari yang "munkar", mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya......"
Firman Allah dalam menceritakan wali-Nya Luqman ketika ia menasihati anaknya, dalam Surat Luqman Ayat 17:
"Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang "munkar" dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."
Firman Allah yang menyatakan kesalahan Bani Israil dalam Surat Al-Ma'idah Ayat 78-79:
"Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan "munkar" yang mereka perbuat. Sesungguhnya amal buruklah yang selalu mereka perbuat itu."
Firman Allah yang menceritakan Bani Israil yang telah diselamatkan Allah karena mereka menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar". Dan Allah telah membinasakan mereka yang meninggalkannya. Hal ini difirmankan Allah dalam Surat Al-A'raf Ayat 165:
"... Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang dzalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik."
3. Hadits Riwayat Muslim, menjelaskan bahwa Rasulullah menyuruh kita untuk ber"amar ma'ruf nahi munkar", sebagaimana sabdanya:
"Barangsiapa yang melihat sesuatu yang "munkar", maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidak bisa dengan lidahnya (dengan ucapan). Kalau tidak bisa pula maka wajib dengan hatinya (membencinya) dan hal itu termasuk iman yang paling lemah."
Hadits Riwayat Tirmidzi, hadits hasan, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Kamu benar-benar harus menyuruh kepada yang "ma'ruf" dan mencegah dari yang "munkar". Kalau tidak, Allah akan menurunkan siksa padamu, kemudian kamu berdo'a, maka do'amu tidak diterima."
Hadits Riwayat Abu Daud, Ibn Majah dan Tirmidzi, hadits hasan, menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda:
"Hai Sa'labih, hendaklah kamu mengajak kepada yang "ma'ruf" dan mencegah yang "munkar". Apabila kamu melihat kebatilan dituruti, hawa nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan tiap-tiap orang merasa benar sendiri, maka jagalah dirimu dan tinggalkan orang-orang bodoh itu. Karena di belakangmu banyak fitnah seperti malam kelam. Sesungguhnya orang yang berpegang teguh pada agama, pada saat demikian itu dan misalnya kamu berada disitu, maka kamu memperoleh pahala lima puluh kali dari golonganmu. Nabi ditanya: Apakah lima puluh kali dari mereka ya Rasulullah? Nabi menjawab: Bukan, tapi dari golonganmu, sebab kamu memperoleh kebaikan dari penolong-penolong yang kamu temukan, sedang mereka tidak menemukan penolongnya."
Hadits Riwayat Muslim, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Tiada seorang Nabi yang diutus sebelumku melainkan mempunyai sahabat-sahabat yang setia, yang mengikuti benar-benar tuntunan ajarannya. Kemudian lahir generasi di belakang mereka yang hanya banyak bicara dan tidak suka berbuat dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan, maka siapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya, ia Mukmin. Dan siapa yang menentang dengan lidahnya, juga Mukmin dan siapa yang membenci mereka dengan hatinya, iapun Mukmin. Selain dari itu tidak ada lagi iman walaupun seberat biji sawi."
Hadits Riwayat Ibn Majah, Ahmad dan Nasa'i, hadits sahih, menjelaskan bahwa Nabi SAW ketika ditanya jihad yang paling utama, Nabi menjawab:
"Menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim."
Adab dan Etika
1. Setiap orang "Muslim" hendaknya mengetahui hakikat yang diperintahkan bahwa hal itu benar merupakan hal yang "ma'ruf" berdasarkan hukum syariat. Dan kadang yang "ma'ruf" itu tidak dikerjakan orang. Demikian pula ia harus mengetahui hakikat perbuatan "munkar" yang dilarang dan harus diberantas. Dan kadang yang "munkar" dalam kenyataan dilakukan orang. Juga yang "munkar" itu termasuk berbagai maksiat dan diharamkan serta diingkari oleh hukum syariat.
2. Orang yang meksanakan "amar ma'ruf nahi munkar" hendaknya adalah orang yang saleh yang tidak pernah meninggalkan perintah Allah dan tidak berbuat maksiat. Sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat As-Saff Ayat 2-3: "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan."
Allah juga berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 44:
"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?"
3. Hendaklah ia berakhlak mulia, penyabar, menyuruh dengan lemah lembut dan melarang secara halus, ia tidak emosi bila apa yang dilarangnya dikerjakan orang dan tidak marah bila orang yang disuruhnya itu menyakiti hatinya. Ia harus penyabar, pemaaf dan berlapang dada, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Surat Luqman Ayat 17, yang telah dijelaskan di atas.
4. Janganlah menggunakan cara memata-matai dalam mengenal ke"munkar"an, karena cara seperti ini tidak layak untuk dipergunakan. Misalnya mengintai orang di rumahnya, membuka baju seseorang untuk mengetahui apa yang dibawanya dan membuka tutup bejana untuk mengetahui isinya. Karena syariat menyuruh menutup aurat dan melarang memata-matai mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Hujurat Ayat 12:
".... dan ujanganlah kamu mencari cari kesalahan orang..."
Hadits Riwayat Muslim, menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa menutupi kesalahan orang "Muslim", maka Allah akan menutupi kesalahannya di dunia dan di akhirat."
5. Sebelum menyuruh orang melakukan perbuatan "ma'ruf" dan meninggalkan yang "munkar", hendaklah lebih dahulu kita memberikan contoh, karena terkadang orang tidak mengetahuinya apakah perbuatan itu "ma'ruf" atau "munkar".
6. "Amar ma'ruf nahi munkar" hendaknya dilakukan dengan cara yang baik. Bila orang meninggalkan dan mengerjakan yang "munkar", berikanlah ia nasihat yang menyejukkan hatinya dengan menuturkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang mendorong supaya ia mau melakukan yang "ma'ruf" dan meninggalkan yang "munkar". Apabila dengan cara demikian tidak berhasil, gunakanlah kata-kata yang keras dan tegas. Apabila ini masih tidak berhasil dan tidak digubris serahkan saja kepada yang berwajib atau minta bantuan kawan.
7. Apabila tidak sanggup mendobrak ke"munkar"an dengan kekuatan fisik dan tidak juga dengan perkataan karena khawatir terhadap keselamatan jiwa, harta atau kehormatannya, dan tidak sanggup bersabar akibat yang akan menimpa dirinya, maka cukup menghadapi ke"munkar"an dengan hatinya, yaitu merasa benci terhadap perbuatan tersebut. Hal ini didasarkan pada ajaran Rasulullah yaitu apabila tidak sanggup dengan tangan, maka cukup dengan hatinya.
Kamis, 02 April 2015
Ya'juj Dan Ma'juj
Ya'juj dan Ma'juj diuraikan dua kali dalam Al-Qur`an. Yang pertama diuraikan dalam surat Al-Kahfi, sehubungan dengan uraian tentang gambaran Dajjal. Menjelang berakhirnya surat Al-Kahfi, diuraikan tentang perjalanan Raja Dzulkarnain ke berbagai jurusan untuk memperkuat bapal-batas kerajaannya.
Di antara tanda kiamat Kubra adalah keluarnya Ya'juj dan Ma'juj dari kurungannya. Keluarnya mereka sebagai tanda kiamat Kubra akan terjadi dan wajib kita imani karena dalil-dalil telah jelas menetapkannya. Adapun tanda kiamat Kubra, di antaranya disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin Usaid Al-Ghifari r.a. :
Rasulullah melihat kami ketika kami tengah berbincang-bincang. Beliau berkata: "Apa yang kalian perbincangkan?" Kami menjawab: "Kami sedang berbincang-bincang tentang hari kiamat." Beliau berkata: "Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian lihat sebelumnya sepuluh tanda."Beliau menyebutkan: "Dukhan (asap), Dajjal, Daabbah, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa as, Ya'juj dan Ma'juj, dan tiga khusuf (dibenamkan ke dalam bumi) di timur, di barat, dan di jazirah Arab, yang terakhir adalah api yang keluar dari Yaman mengusir (menggiring) mereka ke tempat berkumpulnya mereka." (HR. Muslim no. 2901)
Selain itu, Ya`juj dan Ma`juj dalam hadits dari Zainab binti Jahsh (isteri Nabi saw), di jelaskan : "Nabi Muhammad bangun dari tidurnya dengan wajah memerah, kemudian bersabda; "Tiada Tuhan selain Allah, celakalah bagi Arab dari kejahatan yang telah dekat pada hari kiamat, (yaitu) telah dibukanya penutup Ya`juj dan Ma`juj seperti ini!" beliau melingkarkan jari tangannya. (Dalam riwayat lain tangannya membentuk isyarat 70 atau 90), Aku bertanya; "Ya Rasulullah SAW, apakah kita akan dihancurkan walaupun ada orang-orang shalih ?" Beliau menjawab; "Ya, Jika banyak kejelekan." (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Allah Swt. berfirman tentang Ya`juj dan Ma`juj ini:
"Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (Hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata); "Aduhai celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zalim". (QS. Al-Anbiyaa` [21] : 96)
Mengenai garis asal-usul tentang siapa sebenarnya kaum ini para ulama telah berbeda pendapat, namun mereka sepakat bahwa Ya`juj dan Ma`juj termasuk spesies manusia. Ada yang menyebutkan dari sulbi Adam a.s. dan Hawa. Ada pula yang menyebut dari sulbi Nabi Nuh a.s. dari keturunan Syis/At-Turk menurut hadits Ibnu Katsir. Sebagaimana dijelaskan dalam tarikh, Nabi Nuh a.s. mempunyai tiga anak, Sam, Ham, Syis/At-Turk. Ada lagi yang menyebut keturunan dari Yafuts Bin Nuh. Menurut Al-Maraghi, Ya`juj dan Ma`juj berasal dari satu ayah yaitu Turk, Ya`juj adalah At-Tatar (Tartar) dan Ma`juj adalah Al-Maghul (Mongol), namun keterangan ini tidak kuat.
Walaupun mereka dari jenis manusia keturunan Nabi Adam a.s., namun mereka memiliki sifat khas yang berbeda dari manusia biasa. Ciri utama mereka adalah perusak dan jumlah mereka yang sangat besar sehingga ketika mereka turun dari gunung seakan-akan air bah yang mengalir, tidak pandai berbicara dan tidak fasih, bermata kecil (sipit), berhidung kecil, lebar mukanya, merah warna kulitnya seakan-akan wajahnya seperti perisai dan sifat-sifat lain.
Mengenai ciri-ciri mereka terdapat sebuah hadits di Musnad Imam Ahmad (5/271), Al-Haetsami di Majmauz Zawaid (8/9) berkata tentangnya: "Rawi-rawinya adalah rawi-rawi Ash-Shahih." Hadits tersebut menjelaskan bahwa mereka berwajah lebar seperti tameng yang menonjol dengan rambut merah kecoklatan, mata sipit, datang dengan cepat dari tempat yang tinggi.
Selain itu Rasulullah Saw. berkhutbah dalam keadaan jarinya terbalut karena tersengat kalajengking. Beliau bersabda:
"Kalian mengatakan tidak ada musuh. Padahal sesungguhnya kalian akan terus memerangi musuh sampai datangnya Ya'juj dan Ma'juj, lebar mukanya, kecil (sipit) matanya, dan ada warna putih di rambut atas. Mereka mengalir dari tempat-tempat yang tinggi, seakan-akan wajah-wajah mereka seperti perisai" (HR. Ahmad)
Dalam surat Al-Kahfi, Allah menjelaskan bahwa Ya'juj Ma'juj dikurung oleh Dzulkarnain dengan baja karena mereka berlaku biadab dan berbuat kerusakan di muka bumi, sehingga mereka tidak bisa keluar darinya sampai tiba saatnya janji Allah.
Firman Allah SWT:
"Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata :"Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj wa-Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka". Dzulqarnain berkata :"Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka. Berilah Aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain :"Tiuplah (api itu)", hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata :"Berilah Aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulqarnain berkata :"Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur lu luh; dan janji Tuhanku itu adalah benar". (QS. Al-Kahfi: 93-98).
Mereka tidak akan keluar darinya sebelum janji Allah tiba, dan itu terjadi di akhir zaman sebagai tanda Kiamat yang sudah diambang pintu. Mereka keluar setelah Isa a.s. turun dan membunuh Dajjal. Keluarnya mereka dari kurungan memiliki cerita tersendiri yang disebutkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam hadits no. 3153 dan Ibnu Majah no. 4131 dari Abu Hurairah, dan dishahihkan oleh Al-Albani di Silsilah Shahihah no. 1735. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj membongkarnya setiap hari, sampai ketika mereka hampir melihat cahaya matahari. Pemimpin mereka berkata :"Kita pulang, kita teruskan besok". Lalu Allah mengembalikannya lebih kuat dari sebelumnya. Ketika masa mereka telah tiba dan Allah ingin mengeluarkan mereka kepada manusia, mereka menggali, ketika mereka hampir melihat cahaya matahari, pemimpin mereka berkata :"Kita pulang, kita teruskan besok insya Allah Ta'ala". Mereka mengucapkan insya Allah. Mereka kembali ke tempat mereka menggali, mereka mendapatkan galian seperti kemarin. Akhirnya mereka berhasil menggali dan keluar kepada manusia. Mereka meminum air sampai kering dan orang-orang berlindung di benteng mereka. Lalu mereka melemparkan panah-panah mereka ke langit dan ia kembali dengan berlumuran darah. Mereka berkata :"Kita telah mengalahkan penduduk bumi dan mengungguli penghuni langit".
Pembicaraan tentang Ya'juj wa-Ma'juj ini ditutup dengan sebuah hadits An-Nawas bin Sam'an di Shahih Muslim (Mukhtashar Shahih Muslim no. 2048). Dari hadits ini kita mengetahui banyak hal tentangnya.
Rasulullah bersabda : Ketika Isa dalam kondisi demikian, Allah mewahyukan kepada Isa bin Maryam :"Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba-Ku, tak seorang pun mampu memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung di Ath-Thur". Lalu Allah mengeluarkan Ya'juj wa-Ma'juj, dan mereka mengalir dari segala penjuru. Rombongan pertama melewati danau Thabariyah dan meminum airnya. Rombongan terakhir menyusul sementara air danau telah mengering, mereka berkata :"Sepertinya dulu di sini pernah ada air". Nabi Isa a.s. dan teman-temannya dikepung sehingga kepala sapi bagi mereka lebih berharga daripada 100 dinar, lalu Nabi Isa a.s. dan kawan-kawan berdoa kepada Allah. Lalu Allah mengirim ulat di leher mereka, maka mereka mati bergelimpangan seperti matinya jiwa yang satu. Kemudian Allah Swt. menurunkan Nabi Isa a.s. dan kawan-kawannya ke bumi, maka tidak ada sejengkal tempat pun di bumi kecuali dipenuhi oleh bau busuk mereka. Lalu Nabiyullah Isa a.s. dan teman-temannya berdoa kepada Allah Swt., kemudian Allah Swt. menurunkan hujan deras yang mengguyur seluruh rumah, baik yang terbuat dari tanah atau kulit binatang. Hujan itu membasuh bumi sehingga ia seperti cermin yang berkilauan".
Ya'juj dan Ma'juj adalah kaum yang banyak keturunannya. Menurut mitos, mereka tidak mati sebelum melihat seribu anak lelakinya membawa senjata. Mereka taat pada peraturan masyarakat, adab dan pemimpinnya. Ada yang menyebut mereka berperawakan sangat tinggi sampai beberapa meter dan ada yang sangat pendek sampai beberapa centimeter. Konon, telinga mereka panjang, tapi ini tidak berdasar. Pada Al-Qur`an surat Al-Kahfi [18] ayat 94, Ya'juj dan Ma'juj adalah kaum yang kasar dan biadab, sebagaimana bunyi kalimat berikut : "Mereka berkata :"Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj [892] itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?".
Jika mereka melewati perkampungan, membabad semua yang menghalangi dan merusak atau bila perlu membunuh penduduk. Karenya, ketika Dzulkarnain datang, mereka minta dibuatkan benteng agar mereka tidak dapat menembus dan mengusik ketenangan penduduk. Siapakah Dzulkarnain? Menurut versi Barat, Dzulkarnain adalah Iskandar Bin Philips Al-Maqduny Al-Yunany (orang Mecedonia, Yunani). Ia berkuasa selama 330 tahun. Membangun Iskandariah dan murid Aristoteles. Memerangi Persia dan menikahi puterinya. Mengadakan ekspansi ke India dan menaklukan Mesir.
Menurut Asy-Syaukany, pendapat di atas sulit diterima, karena hal ini mengisyaratkan ia seorang kafir dan filosof. Sedangkan al-Quran menyebutkan; "Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu". (QS. Al-Kahfi [18] : 84). Menurut sejarawan muslim Dzulkarnain adalah julukan Abu Karb Al-Himyari atau Abu Bakar Bin Ifraiqisy dari daulah Al-Jumairiyah (115 SM–552 M).
Kerajaannya disebut At-Tababi'ah. Dijuluki Dzulkarnain (Pemilik dua tanduk), karena kekuasaannya yang sangat luas, mulai ujung tanduk matahari di Barat sampai Timur. Menurut Ibnu Abbas, ia adalah seorang raja yang shalih. Ia seorang pengembara dan ketika sampai di antara dua gunung antara Armenia dan Azzarbaijan. Atas permintaan penduduk, Dzulkarnain membangun sebuah benteng. Dia meminta bijih besi dicurahkan ke lembah antara dua bukit. Lalu minta api dinyalakan sampai besi mencair. Maka jadilah tembok logam yang licin tidak bisa dipanjat.
Para arkeolog menemukan benteng tersebut pada awal abad ke-15 M, di belakang Jeihun dalam ekspedisi Balkh dan disebut sebagai "Babul Hadid" (Pintu Besi) di dekat Tarmidz. Timurleng pernah melewatinya, juga Syah Rukh dan ilmuwan German Slade Verger. Arkeolog Spanyol Klapigeo pada tahun 1403 H. Pernah diutus oleh Raja Qisythalah di Andalus ke sana dan bertamu pada Timurleng. "Babul Hadid" adalah jalan penghubung antara Samarqindi dan India.
Abdullah Yusuf Ali dalam tafsir The Holy Qur'an menulis bahwa di distrik Hissar, Uzbekistan, 240 km di sebelah tenggara Bukhara, ada celah sempit di antara gunung-gunung batu. Letaknya di jalur utama antara Turkestan ke India dengan ordinat 38oN dan 67oE. Tempat itu kini bernama buzghol-khana dalam bahasa Turki, tetapi dulu nama Arabnya adalah Bab Al-Hadid. Orang Persia menyebutnya Dariahani. Orang Cina menamakannya Tie-Men-Kuan. Semuanya bermakna pintu gerbang besi.
Hiouen Tsiang, seorang pengembara Cina pernah melewati pintu berlapis besi itu dalam perjalanannya ke India di abad ke-7. Tidak jauh dari sana ada danau yang dinamakan Iskandar Kul. Di tahun 842 Khalifah Bani Abbasiyah, al-Watsiq, mengutus sebuah tim ekspedisi ke gerbang besi tadi. Mereka masih mendapati gerbang di antara gunung selebar 137 m dengan kolom besar di kiri kanan terbuat dari balok-balok besi yang dicor dengan cairan tembaga, tempat bergantung daun pintu raksasa. Persis seperti bunyi surat Al Kahfi. Pada Perang Dunia II, konon Winston Churchill, pemimpin Inggris, mengenali gerbang besi itu.
Apa pun tentang keberadaan dinding penutup tersebut, ia memang terbukti ada sampai sekarang di Azerbaijan dan Armenia. Tepatnya ada di pegunungan yang sangat tinggi dan sangat keras (pegunungan Kaukasus). Ia berdiri tegak seolah-olah diapit oleh dua buah tembok yang sangat tinggi. Tempat itu tercantum pada peta-peta Islam maupun Rusia, terletak di republik Georgia.
Al-Syarif al-Idrisi menegaskan hal itu melalui riwayat penelitian yang dilakukan Sallam, staf peneliti pada masa Khalifah al-Watsiq Billah (Abbasiah). Konon, Al-Watsiq pernah bermimpi tentang tembok penghalang yang dibangun oleh Iskandar Dzulkarnain untuk memenjarakan Ya'juj dan Ma'juj terbuka.
Mimpi itu mendorong Khalifah untuk mengetahui perihal tembok itu saat itu, juga lokasi pastinya. Al-Watsiq menginstruksikan kepada Sallam untuk mencari tahu tentang tembok itu. Saat itu Sallam ditemani 50 orang. Penelitian tersebut memakan biaya besar. Tersebut dalam Nuzhat al-Musytaq, buku geografi, karya Al-Idrisi, Al-Watsiq mengeluarkan biaya 5000 dinar untuk penelitian ini.
Rombongan Sallam berangkat ke Armenia. Di situ ia menemui Ishaq bin Ismail, penguasa Armenia. Dari Armenia ia berangkat lagi ke arah utara ke daerah-daerah Rusia. Ia membawa surat dari Ishaq ke penguasa Sarir, lalu ke Raja Lan, lalu ke penguasa Faylan (nama-nama daerah ini tidak dikenal sekarang). Penguasa Faylan mengutus lima penunjuk jalan untuk membantu Sallam sampai ke pegunungan Ya'juj dan Ma'juj.
27 hari Sallam mengarungi puing-puing daerah Basjarat. Ia kemudian tiba di sebuah daerah luas bertanah hitam berbau tidak enak. Selama 10 hari, Sallam melewati daerah yang menyesakkan itu. Ia kemudian tiba di wilayah berantakan, tak berpenghuni. Penunjuk jalan mengatakan kepada Sallam bahwa daerah itu adalah daerah yang dihancurkan oleh Ya'juj dan Ma'juj tempo dulu. Selama 6 hari, berjalan menuju daerah benteng. Daerah itu berpenghuni dan berada di balik gunung tempat Ya'juj dan Ma'juj berada. Sallam kemudian pergi menuju pegunungan Ya'juj dan Ma'juj. Di situ ia melihat pegunungan yang terpisah lembah. Luas lembah sekitar 150 meter. Lembah ini ditutup tembok berpintu besi sekitar 50 meter.
Dalam Nuzhat Al-Musytaq, gambaran Sallam tentang tembok dan pintu besi itu disebutkan dengan sangat detail (Anda yang ingin tahu bentuk detailnya, silakan baca : Muzhat al-Musytaq Fi Ikhtiraq Al-Afaq, karya Al-Syarif Al-Idrisi, hal. 934 -938).
Al-Idrisi juga menceritakan bahwa menurut cerita Sallam penduduk di sekitar pegunungan biasanya memukul kunci pintu besi 3 kali dalam sehari. Setelah itu mereka menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan reaksi dari dalam pintu. Ternyata, mereka mendengar gema teriakan dari dalam. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam pintu betul-betul ada makhluk jenis manusia yang konon Ya'juj dan Ma'juj itu.
Ya'juj dan Ma'juj sendiri, menurut penuturan Al-Syarif Al-Idrisi dalam Nuzhat Al-Musytaq, adalah dua suku keturunan Sam bin Nuh. Mereka sering mengganggu, menyerbu, membunuh, suku-suku lain. Mereka pembuat onar dan sering menghancurkan suatu daerah. Masyarakat mengadukan kelakuan suku Ya'juj dan Ma'juj kepada Iskandar Dzulkarnain, Raja Macedonia. Dzulkarnain kemudian menggiring (mengusir) mereka ke sebuah pegunungan, lalu menutupnya dengan tembok dan pintu besi.
Menjelang Kiamat nanti, pintu itu akan jebol. Mereka keluar dan membuat onar dunia, sampai turunnya Nabi Isa Al-Masih. Dalam Nuzhat Al-Musytaq, Al-Syarif Al-Idrisi juga menuturkan bahwa Sallam pernah bertanya kepada penduduk sekitar pegunungan, apakah ada yang pernah melihat Ya'juj dan Ma'juj. Mereka mengaku pernah melihat gerombolan orang di atas tembok penutup. Lalu angin badai bertiup melemparkan mereka. Penduduk di situ melihat tubuh mereka sangat kecil. Setelah itu, Sallam pulang melalui Taraz (Kazakhtan), kemudian Samarkand (Uzbekistan), lalu kota Ray (Iran), dan kembali ke istana Al-Watsiq di Surra Man Ra'a, Iraq. Ia kemudian menceritakan dengan detail hasil penelitiannya kepada Khalifah.
Kalau menurut penuturan Ibnu Bathuthah dalam kitab Rahlat Ibn Bathuthah pegunungan Ya'juj dan Ma'juj berada sekitar perjalanan 6 hari dari Cina. Penuturan ini tidak bertentangan dengan al-Syarif al-Idrisi. Soalnya di sebelah Barat Laut Cina adalah daerah-daerah Rusia.
Dikisahkan, bahwa nanti menjelang kiamat maka fitnah dan kejahatan mereka (Yajuj dan Ma'juj) sangat besar dan menyeluruh, tiada seorang manusiapun yang dapat mengatasinya. Jumlah mereka (golongannya) pun sangat banyak, sehingga kaum Muslimin akan menyalakan api selama 7 tahun untuk berlindung dari penyerangan mereka, para pemanah dan perisai mereka. Seperti yang diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Nawwas berikut ini :"Maka saat mereka telah keluar (dari dinding tembaga yang mengurung mereka sejak zaman raja Zulkarnain), maka Allah SWT berfirman kepada Isa ibn Maryam: "Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba (Ya'juj dan Ma'juj) yang tidak mampu diperangi oleh siapapun, maka hendaklah kamu mengasingkan hamba-hamba-Ku ke Thur (Thursina) "
"Dan di Thur terkepunglah Nabiyullah Isa a.s. beserta para sahabat-nya, sehingga harga sebuah kepala sapi lebih mahal dari 100 dinar kamu hari ini. Kemudian Nabiyullah Isa a.s. dan para sahabatnya menginginkan itu, maka mereka tidak menemukan sejengkalpun dari tanah di bumi kecuali ia dipenuhi oleh bau anyir dan busuk mereka. Kemudian Isa a.s. dan sahabatnya meminta kelapangan kepada Allah Swt. maka Allah Swt. mengutus seekor burung yang akan membawa mereka kemudian menurunkan mereka sesuai dengan kehendak Allah Swt. Kemudian Allah Swt. menurunkan air hujan yang tidak meninggalkan satu rumahpun di kota atau di kampung, maka Ia membasahi bumi sehingga menjadi seperti sumur yang penuh" (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi dari An-Nawwas bin Sam'am)
Fitnah dan kejahatan kaum Ya'juj dan Ma'juj ini juga digambarkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW sebagaimana berikut:
Rasulullah bersabda :"Dinding pembatas Ya'juj dan Majjuj akan terbuka, maka mereka akan menyerang semua manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat-tempat yang tinggi" (QS . Al Anbiyaa' : 96). Maka mereka akan menyerang manusia, sedangkan kaum Muslim akan berlarian dari mereka ke kota-kota dan benteng-benteng mereka, sambil membawa binatang-binatang ternak bersama mereka. Sedangkan mereka (Ya'juj dan Ma'juj) meminum semua air di bumi, sehingga apabila sebagian dari mereka melewati sebuah sungai maka merekapun meminum air sungai tersebut sampai kering dan ketika sebagian yang lain dari mereka melewati sungai yang sudah kering tersebut, maka mereka berkata :"Dulu di sini pernah ada air". Dan apabila tidak ada lagi manusia yang tersisa kecuali seorang saja di sebuah kota atau benteng, maka berkatalah salah seorang dari mereka (Ya'juj dan Ma'juj): "Penduduk bumi sudah kita habisi, maka berikutnya yang tertinggal adalah penduduk langit", kemudian salah seorang dari mereka melemparkan tombaknya ke langit, dan tombak tersebut kembali dengan berlumur darah yang menunjukkan suatu bencana dan fitnah. Maka tatkala rnereka sedang asyik berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus ulat ke pundak mereka seperti ulat belalang yang keluar dari kuduknya, maka pada pagi harinya mereka pun mati dan tidak terdengar satu nafaspun. Setelah itu kaum Muslim berkata :"Apakah ada seorang laki-laki yang berani mati untuk melihat, apa yang sedang dilakukan oleh musuh kita ini?" maka majulah salah seorang dari mereka dengan perasaan tak takut mati, kemudian dia menemukan bahwa mereka semua (Ya'juj dan Ma'juj) telah mati dalam keadaan sebagian mereka di atas sebagian yang lain (bertumpukan), maka laki-laki tersebut berseru :"Wahai semua kaum Muslim bergembiralah kalian, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri sudah membinasakan musuhmu", maka mereka pun keluar dari kota-kota dan benteng-benteng dan melepaskan ternak-ternak mereka ke padang-padang rumput kemudian padang rumput tersebut dipenuhi oleh daging-daging binatang ternak, maka semua susu ternak tersebut gemuk (penuh) seperti tunas pohon yang paling bagus yang tidak pernah dipotong" (Hadits riwayat Ahmad, Ibn Majah, Ibn Hiban dan Hakim dari Abu Sa'id RA).
Di antara tanda kiamat Kubra adalah keluarnya Ya'juj dan Ma'juj dari kurungannya. Keluarnya mereka sebagai tanda kiamat Kubra akan terjadi dan wajib kita imani karena dalil-dalil telah jelas menetapkannya. Adapun tanda kiamat Kubra, di antaranya disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin Usaid Al-Ghifari r.a. :
Rasulullah melihat kami ketika kami tengah berbincang-bincang. Beliau berkata: "Apa yang kalian perbincangkan?" Kami menjawab: "Kami sedang berbincang-bincang tentang hari kiamat." Beliau berkata: "Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian lihat sebelumnya sepuluh tanda."Beliau menyebutkan: "Dukhan (asap), Dajjal, Daabbah, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa as, Ya'juj dan Ma'juj, dan tiga khusuf (dibenamkan ke dalam bumi) di timur, di barat, dan di jazirah Arab, yang terakhir adalah api yang keluar dari Yaman mengusir (menggiring) mereka ke tempat berkumpulnya mereka." (HR. Muslim no. 2901)
Selain itu, Ya`juj dan Ma`juj dalam hadits dari Zainab binti Jahsh (isteri Nabi saw), di jelaskan : "Nabi Muhammad bangun dari tidurnya dengan wajah memerah, kemudian bersabda; "Tiada Tuhan selain Allah, celakalah bagi Arab dari kejahatan yang telah dekat pada hari kiamat, (yaitu) telah dibukanya penutup Ya`juj dan Ma`juj seperti ini!" beliau melingkarkan jari tangannya. (Dalam riwayat lain tangannya membentuk isyarat 70 atau 90), Aku bertanya; "Ya Rasulullah SAW, apakah kita akan dihancurkan walaupun ada orang-orang shalih ?" Beliau menjawab; "Ya, Jika banyak kejelekan." (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Allah Swt. berfirman tentang Ya`juj dan Ma`juj ini:
"Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (Hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata); "Aduhai celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zalim". (QS. Al-Anbiyaa` [21] : 96)
Mengenai garis asal-usul tentang siapa sebenarnya kaum ini para ulama telah berbeda pendapat, namun mereka sepakat bahwa Ya`juj dan Ma`juj termasuk spesies manusia. Ada yang menyebutkan dari sulbi Adam a.s. dan Hawa. Ada pula yang menyebut dari sulbi Nabi Nuh a.s. dari keturunan Syis/At-Turk menurut hadits Ibnu Katsir. Sebagaimana dijelaskan dalam tarikh, Nabi Nuh a.s. mempunyai tiga anak, Sam, Ham, Syis/At-Turk. Ada lagi yang menyebut keturunan dari Yafuts Bin Nuh. Menurut Al-Maraghi, Ya`juj dan Ma`juj berasal dari satu ayah yaitu Turk, Ya`juj adalah At-Tatar (Tartar) dan Ma`juj adalah Al-Maghul (Mongol), namun keterangan ini tidak kuat.
Walaupun mereka dari jenis manusia keturunan Nabi Adam a.s., namun mereka memiliki sifat khas yang berbeda dari manusia biasa. Ciri utama mereka adalah perusak dan jumlah mereka yang sangat besar sehingga ketika mereka turun dari gunung seakan-akan air bah yang mengalir, tidak pandai berbicara dan tidak fasih, bermata kecil (sipit), berhidung kecil, lebar mukanya, merah warna kulitnya seakan-akan wajahnya seperti perisai dan sifat-sifat lain.
Mengenai ciri-ciri mereka terdapat sebuah hadits di Musnad Imam Ahmad (5/271), Al-Haetsami di Majmauz Zawaid (8/9) berkata tentangnya: "Rawi-rawinya adalah rawi-rawi Ash-Shahih." Hadits tersebut menjelaskan bahwa mereka berwajah lebar seperti tameng yang menonjol dengan rambut merah kecoklatan, mata sipit, datang dengan cepat dari tempat yang tinggi.
Selain itu Rasulullah Saw. berkhutbah dalam keadaan jarinya terbalut karena tersengat kalajengking. Beliau bersabda:
"Kalian mengatakan tidak ada musuh. Padahal sesungguhnya kalian akan terus memerangi musuh sampai datangnya Ya'juj dan Ma'juj, lebar mukanya, kecil (sipit) matanya, dan ada warna putih di rambut atas. Mereka mengalir dari tempat-tempat yang tinggi, seakan-akan wajah-wajah mereka seperti perisai" (HR. Ahmad)
Dalam surat Al-Kahfi, Allah menjelaskan bahwa Ya'juj Ma'juj dikurung oleh Dzulkarnain dengan baja karena mereka berlaku biadab dan berbuat kerusakan di muka bumi, sehingga mereka tidak bisa keluar darinya sampai tiba saatnya janji Allah.
Firman Allah SWT:
"Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata :"Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj wa-Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka". Dzulqarnain berkata :"Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka. Berilah Aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain :"Tiuplah (api itu)", hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata :"Berilah Aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu". Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. Dzulqarnain berkata :"Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur lu luh; dan janji Tuhanku itu adalah benar". (QS. Al-Kahfi: 93-98).
Mereka tidak akan keluar darinya sebelum janji Allah tiba, dan itu terjadi di akhir zaman sebagai tanda Kiamat yang sudah diambang pintu. Mereka keluar setelah Isa a.s. turun dan membunuh Dajjal. Keluarnya mereka dari kurungan memiliki cerita tersendiri yang disebutkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam hadits no. 3153 dan Ibnu Majah no. 4131 dari Abu Hurairah, dan dishahihkan oleh Al-Albani di Silsilah Shahihah no. 1735. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj membongkarnya setiap hari, sampai ketika mereka hampir melihat cahaya matahari. Pemimpin mereka berkata :"Kita pulang, kita teruskan besok". Lalu Allah mengembalikannya lebih kuat dari sebelumnya. Ketika masa mereka telah tiba dan Allah ingin mengeluarkan mereka kepada manusia, mereka menggali, ketika mereka hampir melihat cahaya matahari, pemimpin mereka berkata :"Kita pulang, kita teruskan besok insya Allah Ta'ala". Mereka mengucapkan insya Allah. Mereka kembali ke tempat mereka menggali, mereka mendapatkan galian seperti kemarin. Akhirnya mereka berhasil menggali dan keluar kepada manusia. Mereka meminum air sampai kering dan orang-orang berlindung di benteng mereka. Lalu mereka melemparkan panah-panah mereka ke langit dan ia kembali dengan berlumuran darah. Mereka berkata :"Kita telah mengalahkan penduduk bumi dan mengungguli penghuni langit".
Pembicaraan tentang Ya'juj wa-Ma'juj ini ditutup dengan sebuah hadits An-Nawas bin Sam'an di Shahih Muslim (Mukhtashar Shahih Muslim no. 2048). Dari hadits ini kita mengetahui banyak hal tentangnya.
Rasulullah bersabda : Ketika Isa dalam kondisi demikian, Allah mewahyukan kepada Isa bin Maryam :"Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba-Ku, tak seorang pun mampu memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung di Ath-Thur". Lalu Allah mengeluarkan Ya'juj wa-Ma'juj, dan mereka mengalir dari segala penjuru. Rombongan pertama melewati danau Thabariyah dan meminum airnya. Rombongan terakhir menyusul sementara air danau telah mengering, mereka berkata :"Sepertinya dulu di sini pernah ada air". Nabi Isa a.s. dan teman-temannya dikepung sehingga kepala sapi bagi mereka lebih berharga daripada 100 dinar, lalu Nabi Isa a.s. dan kawan-kawan berdoa kepada Allah. Lalu Allah mengirim ulat di leher mereka, maka mereka mati bergelimpangan seperti matinya jiwa yang satu. Kemudian Allah Swt. menurunkan Nabi Isa a.s. dan kawan-kawannya ke bumi, maka tidak ada sejengkal tempat pun di bumi kecuali dipenuhi oleh bau busuk mereka. Lalu Nabiyullah Isa a.s. dan teman-temannya berdoa kepada Allah Swt., kemudian Allah Swt. menurunkan hujan deras yang mengguyur seluruh rumah, baik yang terbuat dari tanah atau kulit binatang. Hujan itu membasuh bumi sehingga ia seperti cermin yang berkilauan".
Ya'juj dan Ma'juj adalah kaum yang banyak keturunannya. Menurut mitos, mereka tidak mati sebelum melihat seribu anak lelakinya membawa senjata. Mereka taat pada peraturan masyarakat, adab dan pemimpinnya. Ada yang menyebut mereka berperawakan sangat tinggi sampai beberapa meter dan ada yang sangat pendek sampai beberapa centimeter. Konon, telinga mereka panjang, tapi ini tidak berdasar. Pada Al-Qur`an surat Al-Kahfi [18] ayat 94, Ya'juj dan Ma'juj adalah kaum yang kasar dan biadab, sebagaimana bunyi kalimat berikut : "Mereka berkata :"Hai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj [892] itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?".
Jika mereka melewati perkampungan, membabad semua yang menghalangi dan merusak atau bila perlu membunuh penduduk. Karenya, ketika Dzulkarnain datang, mereka minta dibuatkan benteng agar mereka tidak dapat menembus dan mengusik ketenangan penduduk. Siapakah Dzulkarnain? Menurut versi Barat, Dzulkarnain adalah Iskandar Bin Philips Al-Maqduny Al-Yunany (orang Mecedonia, Yunani). Ia berkuasa selama 330 tahun. Membangun Iskandariah dan murid Aristoteles. Memerangi Persia dan menikahi puterinya. Mengadakan ekspansi ke India dan menaklukan Mesir.
Menurut Asy-Syaukany, pendapat di atas sulit diterima, karena hal ini mengisyaratkan ia seorang kafir dan filosof. Sedangkan al-Quran menyebutkan; "Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu". (QS. Al-Kahfi [18] : 84). Menurut sejarawan muslim Dzulkarnain adalah julukan Abu Karb Al-Himyari atau Abu Bakar Bin Ifraiqisy dari daulah Al-Jumairiyah (115 SM–552 M).
Kerajaannya disebut At-Tababi'ah. Dijuluki Dzulkarnain (Pemilik dua tanduk), karena kekuasaannya yang sangat luas, mulai ujung tanduk matahari di Barat sampai Timur. Menurut Ibnu Abbas, ia adalah seorang raja yang shalih. Ia seorang pengembara dan ketika sampai di antara dua gunung antara Armenia dan Azzarbaijan. Atas permintaan penduduk, Dzulkarnain membangun sebuah benteng. Dia meminta bijih besi dicurahkan ke lembah antara dua bukit. Lalu minta api dinyalakan sampai besi mencair. Maka jadilah tembok logam yang licin tidak bisa dipanjat.
Para arkeolog menemukan benteng tersebut pada awal abad ke-15 M, di belakang Jeihun dalam ekspedisi Balkh dan disebut sebagai "Babul Hadid" (Pintu Besi) di dekat Tarmidz. Timurleng pernah melewatinya, juga Syah Rukh dan ilmuwan German Slade Verger. Arkeolog Spanyol Klapigeo pada tahun 1403 H. Pernah diutus oleh Raja Qisythalah di Andalus ke sana dan bertamu pada Timurleng. "Babul Hadid" adalah jalan penghubung antara Samarqindi dan India.
Abdullah Yusuf Ali dalam tafsir The Holy Qur'an menulis bahwa di distrik Hissar, Uzbekistan, 240 km di sebelah tenggara Bukhara, ada celah sempit di antara gunung-gunung batu. Letaknya di jalur utama antara Turkestan ke India dengan ordinat 38oN dan 67oE. Tempat itu kini bernama buzghol-khana dalam bahasa Turki, tetapi dulu nama Arabnya adalah Bab Al-Hadid. Orang Persia menyebutnya Dariahani. Orang Cina menamakannya Tie-Men-Kuan. Semuanya bermakna pintu gerbang besi.
Hiouen Tsiang, seorang pengembara Cina pernah melewati pintu berlapis besi itu dalam perjalanannya ke India di abad ke-7. Tidak jauh dari sana ada danau yang dinamakan Iskandar Kul. Di tahun 842 Khalifah Bani Abbasiyah, al-Watsiq, mengutus sebuah tim ekspedisi ke gerbang besi tadi. Mereka masih mendapati gerbang di antara gunung selebar 137 m dengan kolom besar di kiri kanan terbuat dari balok-balok besi yang dicor dengan cairan tembaga, tempat bergantung daun pintu raksasa. Persis seperti bunyi surat Al Kahfi. Pada Perang Dunia II, konon Winston Churchill, pemimpin Inggris, mengenali gerbang besi itu.
Apa pun tentang keberadaan dinding penutup tersebut, ia memang terbukti ada sampai sekarang di Azerbaijan dan Armenia. Tepatnya ada di pegunungan yang sangat tinggi dan sangat keras (pegunungan Kaukasus). Ia berdiri tegak seolah-olah diapit oleh dua buah tembok yang sangat tinggi. Tempat itu tercantum pada peta-peta Islam maupun Rusia, terletak di republik Georgia.
Al-Syarif al-Idrisi menegaskan hal itu melalui riwayat penelitian yang dilakukan Sallam, staf peneliti pada masa Khalifah al-Watsiq Billah (Abbasiah). Konon, Al-Watsiq pernah bermimpi tentang tembok penghalang yang dibangun oleh Iskandar Dzulkarnain untuk memenjarakan Ya'juj dan Ma'juj terbuka.
Mimpi itu mendorong Khalifah untuk mengetahui perihal tembok itu saat itu, juga lokasi pastinya. Al-Watsiq menginstruksikan kepada Sallam untuk mencari tahu tentang tembok itu. Saat itu Sallam ditemani 50 orang. Penelitian tersebut memakan biaya besar. Tersebut dalam Nuzhat al-Musytaq, buku geografi, karya Al-Idrisi, Al-Watsiq mengeluarkan biaya 5000 dinar untuk penelitian ini.
Rombongan Sallam berangkat ke Armenia. Di situ ia menemui Ishaq bin Ismail, penguasa Armenia. Dari Armenia ia berangkat lagi ke arah utara ke daerah-daerah Rusia. Ia membawa surat dari Ishaq ke penguasa Sarir, lalu ke Raja Lan, lalu ke penguasa Faylan (nama-nama daerah ini tidak dikenal sekarang). Penguasa Faylan mengutus lima penunjuk jalan untuk membantu Sallam sampai ke pegunungan Ya'juj dan Ma'juj.
27 hari Sallam mengarungi puing-puing daerah Basjarat. Ia kemudian tiba di sebuah daerah luas bertanah hitam berbau tidak enak. Selama 10 hari, Sallam melewati daerah yang menyesakkan itu. Ia kemudian tiba di wilayah berantakan, tak berpenghuni. Penunjuk jalan mengatakan kepada Sallam bahwa daerah itu adalah daerah yang dihancurkan oleh Ya'juj dan Ma'juj tempo dulu. Selama 6 hari, berjalan menuju daerah benteng. Daerah itu berpenghuni dan berada di balik gunung tempat Ya'juj dan Ma'juj berada. Sallam kemudian pergi menuju pegunungan Ya'juj dan Ma'juj. Di situ ia melihat pegunungan yang terpisah lembah. Luas lembah sekitar 150 meter. Lembah ini ditutup tembok berpintu besi sekitar 50 meter.
Dalam Nuzhat Al-Musytaq, gambaran Sallam tentang tembok dan pintu besi itu disebutkan dengan sangat detail (Anda yang ingin tahu bentuk detailnya, silakan baca : Muzhat al-Musytaq Fi Ikhtiraq Al-Afaq, karya Al-Syarif Al-Idrisi, hal. 934 -938).
Al-Idrisi juga menceritakan bahwa menurut cerita Sallam penduduk di sekitar pegunungan biasanya memukul kunci pintu besi 3 kali dalam sehari. Setelah itu mereka menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan reaksi dari dalam pintu. Ternyata, mereka mendengar gema teriakan dari dalam. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam pintu betul-betul ada makhluk jenis manusia yang konon Ya'juj dan Ma'juj itu.
Ya'juj dan Ma'juj sendiri, menurut penuturan Al-Syarif Al-Idrisi dalam Nuzhat Al-Musytaq, adalah dua suku keturunan Sam bin Nuh. Mereka sering mengganggu, menyerbu, membunuh, suku-suku lain. Mereka pembuat onar dan sering menghancurkan suatu daerah. Masyarakat mengadukan kelakuan suku Ya'juj dan Ma'juj kepada Iskandar Dzulkarnain, Raja Macedonia. Dzulkarnain kemudian menggiring (mengusir) mereka ke sebuah pegunungan, lalu menutupnya dengan tembok dan pintu besi.
Menjelang Kiamat nanti, pintu itu akan jebol. Mereka keluar dan membuat onar dunia, sampai turunnya Nabi Isa Al-Masih. Dalam Nuzhat Al-Musytaq, Al-Syarif Al-Idrisi juga menuturkan bahwa Sallam pernah bertanya kepada penduduk sekitar pegunungan, apakah ada yang pernah melihat Ya'juj dan Ma'juj. Mereka mengaku pernah melihat gerombolan orang di atas tembok penutup. Lalu angin badai bertiup melemparkan mereka. Penduduk di situ melihat tubuh mereka sangat kecil. Setelah itu, Sallam pulang melalui Taraz (Kazakhtan), kemudian Samarkand (Uzbekistan), lalu kota Ray (Iran), dan kembali ke istana Al-Watsiq di Surra Man Ra'a, Iraq. Ia kemudian menceritakan dengan detail hasil penelitiannya kepada Khalifah.
Kalau menurut penuturan Ibnu Bathuthah dalam kitab Rahlat Ibn Bathuthah pegunungan Ya'juj dan Ma'juj berada sekitar perjalanan 6 hari dari Cina. Penuturan ini tidak bertentangan dengan al-Syarif al-Idrisi. Soalnya di sebelah Barat Laut Cina adalah daerah-daerah Rusia.
Dikisahkan, bahwa nanti menjelang kiamat maka fitnah dan kejahatan mereka (Yajuj dan Ma'juj) sangat besar dan menyeluruh, tiada seorang manusiapun yang dapat mengatasinya. Jumlah mereka (golongannya) pun sangat banyak, sehingga kaum Muslimin akan menyalakan api selama 7 tahun untuk berlindung dari penyerangan mereka, para pemanah dan perisai mereka. Seperti yang diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Nawwas berikut ini :"Maka saat mereka telah keluar (dari dinding tembaga yang mengurung mereka sejak zaman raja Zulkarnain), maka Allah SWT berfirman kepada Isa ibn Maryam: "Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba (Ya'juj dan Ma'juj) yang tidak mampu diperangi oleh siapapun, maka hendaklah kamu mengasingkan hamba-hamba-Ku ke Thur (Thursina) "
"Dan di Thur terkepunglah Nabiyullah Isa a.s. beserta para sahabat-nya, sehingga harga sebuah kepala sapi lebih mahal dari 100 dinar kamu hari ini. Kemudian Nabiyullah Isa a.s. dan para sahabatnya menginginkan itu, maka mereka tidak menemukan sejengkalpun dari tanah di bumi kecuali ia dipenuhi oleh bau anyir dan busuk mereka. Kemudian Isa a.s. dan sahabatnya meminta kelapangan kepada Allah Swt. maka Allah Swt. mengutus seekor burung yang akan membawa mereka kemudian menurunkan mereka sesuai dengan kehendak Allah Swt. Kemudian Allah Swt. menurunkan air hujan yang tidak meninggalkan satu rumahpun di kota atau di kampung, maka Ia membasahi bumi sehingga menjadi seperti sumur yang penuh" (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi dari An-Nawwas bin Sam'am)
Fitnah dan kejahatan kaum Ya'juj dan Ma'juj ini juga digambarkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW sebagaimana berikut:
Rasulullah bersabda :"Dinding pembatas Ya'juj dan Majjuj akan terbuka, maka mereka akan menyerang semua manusia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat-tempat yang tinggi" (QS . Al Anbiyaa' : 96). Maka mereka akan menyerang manusia, sedangkan kaum Muslim akan berlarian dari mereka ke kota-kota dan benteng-benteng mereka, sambil membawa binatang-binatang ternak bersama mereka. Sedangkan mereka (Ya'juj dan Ma'juj) meminum semua air di bumi, sehingga apabila sebagian dari mereka melewati sebuah sungai maka merekapun meminum air sungai tersebut sampai kering dan ketika sebagian yang lain dari mereka melewati sungai yang sudah kering tersebut, maka mereka berkata :"Dulu di sini pernah ada air". Dan apabila tidak ada lagi manusia yang tersisa kecuali seorang saja di sebuah kota atau benteng, maka berkatalah salah seorang dari mereka (Ya'juj dan Ma'juj): "Penduduk bumi sudah kita habisi, maka berikutnya yang tertinggal adalah penduduk langit", kemudian salah seorang dari mereka melemparkan tombaknya ke langit, dan tombak tersebut kembali dengan berlumur darah yang menunjukkan suatu bencana dan fitnah. Maka tatkala rnereka sedang asyik berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus ulat ke pundak mereka seperti ulat belalang yang keluar dari kuduknya, maka pada pagi harinya mereka pun mati dan tidak terdengar satu nafaspun. Setelah itu kaum Muslim berkata :"Apakah ada seorang laki-laki yang berani mati untuk melihat, apa yang sedang dilakukan oleh musuh kita ini?" maka majulah salah seorang dari mereka dengan perasaan tak takut mati, kemudian dia menemukan bahwa mereka semua (Ya'juj dan Ma'juj) telah mati dalam keadaan sebagian mereka di atas sebagian yang lain (bertumpukan), maka laki-laki tersebut berseru :"Wahai semua kaum Muslim bergembiralah kalian, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri sudah membinasakan musuhmu", maka mereka pun keluar dari kota-kota dan benteng-benteng dan melepaskan ternak-ternak mereka ke padang-padang rumput kemudian padang rumput tersebut dipenuhi oleh daging-daging binatang ternak, maka semua susu ternak tersebut gemuk (penuh) seperti tunas pohon yang paling bagus yang tidak pernah dipotong" (Hadits riwayat Ahmad, Ibn Majah, Ibn Hiban dan Hakim dari Abu Sa'id RA).
Kisah Nabi Musa a.s.
Nabi Musa a.s. adalah keturunan keluarga Imran. Nabi Musa a.s. hidup di Negeri Mesir pada masa pemerintahan Raja Ramses II. Raja Ramses II dijuluki dengan sebutan Fir'aun. Ayah Nabi Musa a.s. bernama Imran bin Qahat bin Lawi bin Yakub dan ibunya bernama Yukabad. Mereka termasuk orang yang taat beragama dan saleh. Nabi Musa a.s. lahir di sebuah daerah tidak jauh dari Sungai Nil, sebuah sungai kebanggaan di Negeri Mesir.
Fir'aun menganggap dirinya sebagai Tuhan. Semua orang harus menyambah kepadanya. Semua orang harus menyembah kepadanya. Pada suatu malam, Fir'aun bermimpi. Ia pun kemudian memanggil para peramal dan ahli nujum untuk meramalkan mimpinya. Oleh ahli nujum, mimpi itu diartikan akan lahir seorang bocah laki-laki dari Bani Israil yang akan merampas kekuasaan raja.
Seketika itu Fir'aun memerintahkan seluruh pasukannya untuk membunuh setiap bocah laki-laki. Menghadapi sikap Fir'aun, Ibu Musa (Yukabad) merasa sangat gelisah karena begitu ketatnya penyelidikan para petugas.
Suatu ketika Ibu Musa mendapat petunjuk di dalam mimpinya agar anaknya yang berusia tiga bulan di masukkan ke dalam sebuah kotak dan dihanyutkan di Sungai Nil. Ia menyerahkan kepada Allah Swt. dengan mengucap, "Ya Allah, anak ini adalah milik-Mu. Kami berdua tidak sanggup melindungi dari pembunuhan Raja Fir'aun yang kejam. Untuk itu, kami serahkan kepadamu, ya Allah, atas keselamatannya".
Atas izin Allah Swt. kotak berisi bayi yang dihanyutkan ke sungai diketemukan oleh istri Fir'aun bernama Asiah ketika sedang mandi di Sungai Nil. Kotak itu di ambilnya, lalu bayi di dalamnya dipelihara. Fir'aun merasa curiga terhadap bayi tersebut. Namun, Asiah tetap bersikeras untuk memeliharanya karena ia sudah lama mendambakan anak. Bayi itu oleh Asiah diber nama Musa yang berarti air dan pohon. Selanjutnya, bayi tersebut disusukan kepada salah seorang ibu. Seorang ibu yang diberi kepercayaan menyusui Musa bernama Yukabad yang tiada lain adalah ibu kandung Musa sendiri.
Musa berkali-kali berbuat yang menjengkelkan Raja Fir'aun. Raja Fir'aun bermaksud hendak membuang atau membunuhnya. Namun, Asiah selalu memohon kepada raja agar Musa jangan dibunuh, melainkan dibuang saja hingga Musa menjadi dewasa. Musa tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, terampil, jujur, teguh pendirian, pemberani, dan bertanggung jawab. Ia tidak sependapat dengan kebijakan-kebijakan ayah angkatnya. Mulai dari penindasan rakyat jelata, sampai pada pemujaan terhadap raja.
Pada suatu hari, Musa melihat dua orang sedang berkelahi. Musa berusaha melerai keduanya. Namun, salah satu dari keduanya justru menantang Musa. Akhirnya, yang menantang dipukul Musa dan mati seketika. Merasa takut dimarahi Fir'aun, Musa memutuskan untuk meniggalkan Mesir. Saat itu, Ia berusia 18 tahun. Musa pergi ke Madyan, kota tempat Nabi Syu'aib a.s. Di kota tersebut, ia dinikahkan dengan putri Nabi Syu'aib yang bernama Shafira.
Allah Swt. mengangkat Musa sebagai rasul melalui dialog langsung di bukit Tursina. Musa dikaruniai Kitab Taurat sebagai pedoman hidup dan diberi sebuah tongkat (mukjizat) sebagai bukti kerasulan dirinya. Sepuluh tahun setelah meninggalkan mesir, Musa kembali ke Mesir bersama Istrinya. Ia bermaksud menghilangkan rasa rindu kepada orang tua asuhnya, yaitu Fir'aun dan mengajak beserta keluarga beriman kepada Allah Swt.
Setiba di Mesir, Nabi Musa a.s. menyampaikan keinginannya kepada Fir'aun dan berkata,"Tiada tuhan selain Allah dan bertobatlah dari perbuatanmu sekarang". Mendengar keinginan Nabi Musa a.s. tersebut, Fir'aun marah dan mengajak adu kemampuan. Fir'aun mendatangkan tukang-tukang sihir dan berkata kepada mereka,"Keluarkan kepandaian sihir kalian untuk menghapadi Musa". Tukang-tukang sihir Fir'aun melemparkan tali-temali yang mereka bawa. Dalam sekejap, tali-temali itu berubah menjadi ular yang bergerak ke arah Nabi Musa a.s.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu bersorak-sorai bercampur cemas, jangan-jangan mereka nanti yang akan digigit ular tukang-tukang sihir itu. Nabi Musa a.s. tetap diam di tempat dan dilihatnya tali itu tetap sebagai tali yang bergerak karena digerakkan tukang sihir. Fir'aun berkata,"Jika engkau benar seorang nabi, berilah suatu tanda". Nabi Musa melemparkan tongkatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi ular yang sangat besar sehingga menelan ular-ular para tukang sihir Raja Fir'aun.
Melihat peristiwa tersebut, banyak tukang sihir kerajaan yang justru menyatakan diri beriman kepada Allah Swt. dan meyakini kerasulan Nabi Musa a.s. Raja Fir'aun semakin marah setelah mengetahui istrinya juga membenarkan kerasulan Nabi Musa a.s. Raja Fir'aun segera memerintahkan bala tentaranya untuk membinasakan Nabi Musa a.s. dan pengikutnya. Dikejarlah mereka oleh Fir'aun dan tentaranya hingga di tepi Laut Merah.
Sampai di tepi Laut Merah, Nabi Musa a.s. memohon pertolongan kepada Allah Swt. agar di beri jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Permohonan Nabi Musa a.s. dikabulkan Allah Swt. melalui perintah agar ia memukulkan tongkatnya ke laut. Atas izin Allah Swt., terbelahlah laut itu menjadi jalan yang dapat dilalui oleh Nabi Musa a.s. dan pengikutnya. Mereka disusul oleh Fir'aun dan bala tentaranya. Allah Swt. menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan pengikutnya, sedangkan Fir'aun dan bala tentaranya yang masih di tengah laut tenggelam karena air laut kembali menyatu.
Peristiwa tersebut diabadikan dalam Firman Allah Swt. sebagai berikut."Kemudian Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi mereka digulung ombak yang menenggelamkan mereka". (Q.S. Taha/20 : 78)
Nabi Musa a.s. ke bukit Tursina 40 malam untuk menyempurnakan kerasulannya. Ia menerima wahyu berupa kitab Taurat. Pengawasan terhadap kaumnya diserahkan kepada saudaranya, Nabi Harun a.s.
Sepeninggal Nabi Musa a.s. bermunajat kepada Allah Swt., Bani Israil dihasut seorang munafik bernama Samiri. Karena keyakinan tauhid yang belum tebal, mereka dengan mudah termakan hasutan Samiri. Mereka membuat patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan. Nabi Harun a.s. tidak berdaya menghadapi kaumnya yang murtad. Ketika kembali, Nabi Musa a.s. amat marah dan bersedih hati. Mula-mula, ia marah kepada Nabi Harun a.s. yang dianggap tidak dapat menjaga kaumnya dengan baik.
Setelah mendengarkan penjelasan Nabi Harun a.s., Nabi Musa a.s. pun tenang kembali. Ia megusir Samiri dan menjelaskan kepada kaumnya tentang perbuatan mereka yang salah. Selanjutnya, Allah Swt. memerintahkan Nabi Musa a.s. agar membawa sekelompok orang dari kaumnya untuk memohon ampun atas dosa mereka menyembah patung anak sapi.
Pada suatu ketika, terjadi pembunuhan terhadap seseorang karena masalah warisan. Siapa pembunuhnya tidak diketahui. Orang berdatangan ke rumah Nabi Musa a.s. dan berkata, "Jika memang engkau benar utusan Allah, coba jelaskan siapa sebenarnya pembunuh orang ini !!!.
Nabi Musa a.s. memerintahkan kepada kaumnya agar menyembelih sapi betina tetapi perintah itu justru tidak dipercaya. Namun, perintah itu akhirnya dilaksanakan . Setelah menyembelih sapi betina, sebagian anggota sapi itu dipukulkan pada orang yang telah mati. Seketika itu pula, orang yang telah mati tersebut tiba-tiba hidup kembali dan berkata,"Yang membunuhku adalah anakku sendiri". Setelah mengucapkan kalimat tersebut, orangitu mati kembali.
Peristiwa tersebut telah diceritakan Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 73 berikut. "Lalu kami berfirman, Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu!. Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (Kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti". (Q.S. Al-Baqarah/2 : 73)
Nabi Musa a.s. pernah belajar kepada Nabi Khidir a.s. Padahal, Nabi Musa a.s. merasa lebih pandai dibandingkan lainnya. Ternyata, Nabi Musa a.s. tidak berhasil dalam belajarnya. Ia merasa lebih bodoh dibandingkan dengan Nabi Khidir a.s.
Sebagai contoh, dalam perjalanan Nabi Khidir a.s. berpesan kepada Nabi Musa a.s. agar jangan bertanya sebelum dijelaskan terhadap apa pun yang dilakukan Nabi Khidir a.s. melakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Tatkala menumpang perahu yang baru, perahu itu di lubangi oleh Nabi Khidir a.s. Nabi Musa a.s. tidak sabar, lalu berkata, "Sungguh engkau tidak tahu diri. Mengapa perahu ini engkau lubangi dan bagaimana nasib para penumpang nanti ? Mereka pasti tenggelam, bukan ?
2. Nabi Khidir a.s. membunuh anak kecil yang tidak diketahui salahnya. Nabi Musa a.s. tidak sabar lagi dan marah-marah. Ia berkata, "Sungguh engkau berbuat zalim. Mengapa engkau bunuh anak yang tidak bersalah itu ?
3. Nabi Khidir a.s.mengajak menegakkan bangunan yang sedang miring. Nabi Musa a.s. tidak mau membantu karena pada saat itu payah dan lapar sekali.
Nabi Khidir a.s. menjelaskan beberapa hal yang telah dilakukan sebagai berikut.
1. Melubangi perahu di tengah laut yang sedang dinaiki, padahal perahu tersebut baru. Hal tersebut dilakukan karena di depannya ada raja kejam yang suka menyita semua perahu yang baik-baik. Perahu itu milik orang miskin yang digunakan mencari nafkah untuk anak istrinya. Jika tidak dilubangi, pasti akan disita oleh raja.
2. Membunuh anak kecil demi keselamatan ayahnya. Jika anak tersebut tidak dibunuh, kelak apabila dewasa akan menjadi anak durhaka dan membunuh ayahnya.
3. Menegakkan bangunan yang roboh, demi keselamatan harta peninggalan autuk anak. Hal itu dilakukan karena dibawahnya ada harta peninggalan untuk anak yatim yang akan dimiliki setelah dewasa. Apabila bangunan tersebut tidak ditegakkan, harta tersebut akan ditemukan orang lain.
Nabi Musa a.s. termasuk nabi yang terpilih. Oleh karena itu, ia diberikan beberapa keistimewaan oleh Allah Swt. antara lain sebagai berikut.
1. Kitab Taurat sebagai pedoman bagi kaum Bani Israil
2. Tongkatnya dapat berubah menjadi ular besar atas izin Allah Swt. dan memakan ular-ular kecil tukang-tukang sihir Fir'aun
3. Tongkatnya dapat membelah Laut Merah sehingga menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan para pengikutnya
4. Nabi Musa a.s. mampu membuka tabir pembunuh seseorang karena harta warisan dengan menyembelih sapi betina
Nabi Musa a.s. wafat dengan meninggalkan 12 suku dalam keadaan beriman kepada Allah Swt. Setelah meninggal, Bani Israil dikenal sebagai kaum yang congkak dan sombong serta keras kelapa, bahkaan sulit diatur. Allah Swt. sering memberi azab sebagai peringatan kepada mereka, antara lain sebagai berikut.
1. Ketika kaum Bani Israil ingin melihat wajah Allah Swt., mereka disambar halilintar hingga tewas
2. Karena tidak mau menghadiri majelis yang diselenggarakan Nabi Musa a.s. setiap hari Sabtu, mereka dilaknat oleh Allah Swt. bersama hartanya.
3. Karena kaumnya tetap menyembah patung anak sapi dari emas yang dapat bersuara buatan Samiri, Nabi Musa a.s. datang dengan marah dan memerintah mereka agar bertobat
Fir'aun menganggap dirinya sebagai Tuhan. Semua orang harus menyambah kepadanya. Semua orang harus menyembah kepadanya. Pada suatu malam, Fir'aun bermimpi. Ia pun kemudian memanggil para peramal dan ahli nujum untuk meramalkan mimpinya. Oleh ahli nujum, mimpi itu diartikan akan lahir seorang bocah laki-laki dari Bani Israil yang akan merampas kekuasaan raja.
Seketika itu Fir'aun memerintahkan seluruh pasukannya untuk membunuh setiap bocah laki-laki. Menghadapi sikap Fir'aun, Ibu Musa (Yukabad) merasa sangat gelisah karena begitu ketatnya penyelidikan para petugas.
Suatu ketika Ibu Musa mendapat petunjuk di dalam mimpinya agar anaknya yang berusia tiga bulan di masukkan ke dalam sebuah kotak dan dihanyutkan di Sungai Nil. Ia menyerahkan kepada Allah Swt. dengan mengucap, "Ya Allah, anak ini adalah milik-Mu. Kami berdua tidak sanggup melindungi dari pembunuhan Raja Fir'aun yang kejam. Untuk itu, kami serahkan kepadamu, ya Allah, atas keselamatannya".
Atas izin Allah Swt. kotak berisi bayi yang dihanyutkan ke sungai diketemukan oleh istri Fir'aun bernama Asiah ketika sedang mandi di Sungai Nil. Kotak itu di ambilnya, lalu bayi di dalamnya dipelihara. Fir'aun merasa curiga terhadap bayi tersebut. Namun, Asiah tetap bersikeras untuk memeliharanya karena ia sudah lama mendambakan anak. Bayi itu oleh Asiah diber nama Musa yang berarti air dan pohon. Selanjutnya, bayi tersebut disusukan kepada salah seorang ibu. Seorang ibu yang diberi kepercayaan menyusui Musa bernama Yukabad yang tiada lain adalah ibu kandung Musa sendiri.
Musa berkali-kali berbuat yang menjengkelkan Raja Fir'aun. Raja Fir'aun bermaksud hendak membuang atau membunuhnya. Namun, Asiah selalu memohon kepada raja agar Musa jangan dibunuh, melainkan dibuang saja hingga Musa menjadi dewasa. Musa tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, terampil, jujur, teguh pendirian, pemberani, dan bertanggung jawab. Ia tidak sependapat dengan kebijakan-kebijakan ayah angkatnya. Mulai dari penindasan rakyat jelata, sampai pada pemujaan terhadap raja.
Pada suatu hari, Musa melihat dua orang sedang berkelahi. Musa berusaha melerai keduanya. Namun, salah satu dari keduanya justru menantang Musa. Akhirnya, yang menantang dipukul Musa dan mati seketika. Merasa takut dimarahi Fir'aun, Musa memutuskan untuk meniggalkan Mesir. Saat itu, Ia berusia 18 tahun. Musa pergi ke Madyan, kota tempat Nabi Syu'aib a.s. Di kota tersebut, ia dinikahkan dengan putri Nabi Syu'aib yang bernama Shafira.
Allah Swt. mengangkat Musa sebagai rasul melalui dialog langsung di bukit Tursina. Musa dikaruniai Kitab Taurat sebagai pedoman hidup dan diberi sebuah tongkat (mukjizat) sebagai bukti kerasulan dirinya. Sepuluh tahun setelah meninggalkan mesir, Musa kembali ke Mesir bersama Istrinya. Ia bermaksud menghilangkan rasa rindu kepada orang tua asuhnya, yaitu Fir'aun dan mengajak beserta keluarga beriman kepada Allah Swt.
Setiba di Mesir, Nabi Musa a.s. menyampaikan keinginannya kepada Fir'aun dan berkata,"Tiada tuhan selain Allah dan bertobatlah dari perbuatanmu sekarang". Mendengar keinginan Nabi Musa a.s. tersebut, Fir'aun marah dan mengajak adu kemampuan. Fir'aun mendatangkan tukang-tukang sihir dan berkata kepada mereka,"Keluarkan kepandaian sihir kalian untuk menghapadi Musa". Tukang-tukang sihir Fir'aun melemparkan tali-temali yang mereka bawa. Dalam sekejap, tali-temali itu berubah menjadi ular yang bergerak ke arah Nabi Musa a.s.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu bersorak-sorai bercampur cemas, jangan-jangan mereka nanti yang akan digigit ular tukang-tukang sihir itu. Nabi Musa a.s. tetap diam di tempat dan dilihatnya tali itu tetap sebagai tali yang bergerak karena digerakkan tukang sihir. Fir'aun berkata,"Jika engkau benar seorang nabi, berilah suatu tanda". Nabi Musa melemparkan tongkatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi ular yang sangat besar sehingga menelan ular-ular para tukang sihir Raja Fir'aun.
Melihat peristiwa tersebut, banyak tukang sihir kerajaan yang justru menyatakan diri beriman kepada Allah Swt. dan meyakini kerasulan Nabi Musa a.s. Raja Fir'aun semakin marah setelah mengetahui istrinya juga membenarkan kerasulan Nabi Musa a.s. Raja Fir'aun segera memerintahkan bala tentaranya untuk membinasakan Nabi Musa a.s. dan pengikutnya. Dikejarlah mereka oleh Fir'aun dan tentaranya hingga di tepi Laut Merah.
Sampai di tepi Laut Merah, Nabi Musa a.s. memohon pertolongan kepada Allah Swt. agar di beri jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Permohonan Nabi Musa a.s. dikabulkan Allah Swt. melalui perintah agar ia memukulkan tongkatnya ke laut. Atas izin Allah Swt., terbelahlah laut itu menjadi jalan yang dapat dilalui oleh Nabi Musa a.s. dan pengikutnya. Mereka disusul oleh Fir'aun dan bala tentaranya. Allah Swt. menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan pengikutnya, sedangkan Fir'aun dan bala tentaranya yang masih di tengah laut tenggelam karena air laut kembali menyatu.
Peristiwa tersebut diabadikan dalam Firman Allah Swt. sebagai berikut."Kemudian Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi mereka digulung ombak yang menenggelamkan mereka". (Q.S. Taha/20 : 78)
Nabi Musa a.s. ke bukit Tursina 40 malam untuk menyempurnakan kerasulannya. Ia menerima wahyu berupa kitab Taurat. Pengawasan terhadap kaumnya diserahkan kepada saudaranya, Nabi Harun a.s.
Sepeninggal Nabi Musa a.s. bermunajat kepada Allah Swt., Bani Israil dihasut seorang munafik bernama Samiri. Karena keyakinan tauhid yang belum tebal, mereka dengan mudah termakan hasutan Samiri. Mereka membuat patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan. Nabi Harun a.s. tidak berdaya menghadapi kaumnya yang murtad. Ketika kembali, Nabi Musa a.s. amat marah dan bersedih hati. Mula-mula, ia marah kepada Nabi Harun a.s. yang dianggap tidak dapat menjaga kaumnya dengan baik.
Setelah mendengarkan penjelasan Nabi Harun a.s., Nabi Musa a.s. pun tenang kembali. Ia megusir Samiri dan menjelaskan kepada kaumnya tentang perbuatan mereka yang salah. Selanjutnya, Allah Swt. memerintahkan Nabi Musa a.s. agar membawa sekelompok orang dari kaumnya untuk memohon ampun atas dosa mereka menyembah patung anak sapi.
Pada suatu ketika, terjadi pembunuhan terhadap seseorang karena masalah warisan. Siapa pembunuhnya tidak diketahui. Orang berdatangan ke rumah Nabi Musa a.s. dan berkata, "Jika memang engkau benar utusan Allah, coba jelaskan siapa sebenarnya pembunuh orang ini !!!.
Nabi Musa a.s. memerintahkan kepada kaumnya agar menyembelih sapi betina tetapi perintah itu justru tidak dipercaya. Namun, perintah itu akhirnya dilaksanakan . Setelah menyembelih sapi betina, sebagian anggota sapi itu dipukulkan pada orang yang telah mati. Seketika itu pula, orang yang telah mati tersebut tiba-tiba hidup kembali dan berkata,"Yang membunuhku adalah anakku sendiri". Setelah mengucapkan kalimat tersebut, orangitu mati kembali.
Peristiwa tersebut telah diceritakan Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 73 berikut. "Lalu kami berfirman, Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu!. Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (Kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti". (Q.S. Al-Baqarah/2 : 73)
Nabi Musa a.s. pernah belajar kepada Nabi Khidir a.s. Padahal, Nabi Musa a.s. merasa lebih pandai dibandingkan lainnya. Ternyata, Nabi Musa a.s. tidak berhasil dalam belajarnya. Ia merasa lebih bodoh dibandingkan dengan Nabi Khidir a.s.
Sebagai contoh, dalam perjalanan Nabi Khidir a.s. berpesan kepada Nabi Musa a.s. agar jangan bertanya sebelum dijelaskan terhadap apa pun yang dilakukan Nabi Khidir a.s. melakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Tatkala menumpang perahu yang baru, perahu itu di lubangi oleh Nabi Khidir a.s. Nabi Musa a.s. tidak sabar, lalu berkata, "Sungguh engkau tidak tahu diri. Mengapa perahu ini engkau lubangi dan bagaimana nasib para penumpang nanti ? Mereka pasti tenggelam, bukan ?
2. Nabi Khidir a.s. membunuh anak kecil yang tidak diketahui salahnya. Nabi Musa a.s. tidak sabar lagi dan marah-marah. Ia berkata, "Sungguh engkau berbuat zalim. Mengapa engkau bunuh anak yang tidak bersalah itu ?
3. Nabi Khidir a.s.mengajak menegakkan bangunan yang sedang miring. Nabi Musa a.s. tidak mau membantu karena pada saat itu payah dan lapar sekali.
Nabi Khidir a.s. menjelaskan beberapa hal yang telah dilakukan sebagai berikut.
1. Melubangi perahu di tengah laut yang sedang dinaiki, padahal perahu tersebut baru. Hal tersebut dilakukan karena di depannya ada raja kejam yang suka menyita semua perahu yang baik-baik. Perahu itu milik orang miskin yang digunakan mencari nafkah untuk anak istrinya. Jika tidak dilubangi, pasti akan disita oleh raja.
2. Membunuh anak kecil demi keselamatan ayahnya. Jika anak tersebut tidak dibunuh, kelak apabila dewasa akan menjadi anak durhaka dan membunuh ayahnya.
3. Menegakkan bangunan yang roboh, demi keselamatan harta peninggalan autuk anak. Hal itu dilakukan karena dibawahnya ada harta peninggalan untuk anak yatim yang akan dimiliki setelah dewasa. Apabila bangunan tersebut tidak ditegakkan, harta tersebut akan ditemukan orang lain.
Nabi Musa a.s. termasuk nabi yang terpilih. Oleh karena itu, ia diberikan beberapa keistimewaan oleh Allah Swt. antara lain sebagai berikut.
1. Kitab Taurat sebagai pedoman bagi kaum Bani Israil
2. Tongkatnya dapat berubah menjadi ular besar atas izin Allah Swt. dan memakan ular-ular kecil tukang-tukang sihir Fir'aun
3. Tongkatnya dapat membelah Laut Merah sehingga menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan para pengikutnya
4. Nabi Musa a.s. mampu membuka tabir pembunuh seseorang karena harta warisan dengan menyembelih sapi betina
Nabi Musa a.s. wafat dengan meninggalkan 12 suku dalam keadaan beriman kepada Allah Swt. Setelah meninggal, Bani Israil dikenal sebagai kaum yang congkak dan sombong serta keras kelapa, bahkaan sulit diatur. Allah Swt. sering memberi azab sebagai peringatan kepada mereka, antara lain sebagai berikut.
1. Ketika kaum Bani Israil ingin melihat wajah Allah Swt., mereka disambar halilintar hingga tewas
2. Karena tidak mau menghadiri majelis yang diselenggarakan Nabi Musa a.s. setiap hari Sabtu, mereka dilaknat oleh Allah Swt. bersama hartanya.
3. Karena kaumnya tetap menyembah patung anak sapi dari emas yang dapat bersuara buatan Samiri, Nabi Musa a.s. datang dengan marah dan memerintah mereka agar bertobat
Rabu, 01 April 2015
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Yang disebut Datu Kalampayan tidak lain adalah Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abbdullah Al-Banjari. Lahir 15 shafar 1122 H bertepatan dengan 19 Maret 1710 M di LOk Gabang, dan wafat di tanggal 6 syawaal 1227 H bertepatan dengan 13 Oktober 1812 M dalam usia 105 tahun dan dimakamkan dikampung tersebut, yaitu desa Kalampayan ( sekitar 56 km dari Banjarmasin).
Maulana Syekh Muhammad Arsyad adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh dan mempunyai peran penting dalam sejarah pengembangan syiar agama Islam, khususnya di bumi Kalimantan. Seorang yang sangat gigih mempertahankan dan mengembangkan faham Ahlussunah Waljama'ah dengan faham Asy'ariah untuk Ilmu Tauhid, dan Mazhab Imam Syafi'i untuk bidang Ilmu fiqih. Beliu juga seorang mufti (penasehat agama) pada Kesultanan Banjar, dan juga seorang penulis yang produktif.
Maulana syekh Muhammad Arsyad ketika kecilnya bernama Ja'far, adalah anak tertua dari lima bersaudara hasil perkawinan Abdullah dengan Siti Aminah. Adapun anak Abdullah dengan Siti Aminah adalah:
1. Haji Muhammad Arsyad
2. Haji Zainal Abidin
3. Abidin
4. Diang Panangah
5. Normin
Sejak kecil, tepatnya paa umur sekitar 7 tahun Muhammad Arsyad kecil sudah fasih dalam membaca Al-Quran. Bakat tulis-menulis juga sudah mulai nampak terlihat padanya dikala itu. Karenanya beliau dipelihara dan dikumpulkan oleh sultan bersama dengan anak-anak dan cucu-cucu keluarga kerajaan.
Karena bakat dan kepandaian beliau dalam mempelajari ilmu agama, maka menjelang usia 30 tahun Muhammad Arsyad diberangkatkan ke tanah suci Mekkah untuk memperdalam ilmu agama dengan biaya sultan (kerajaan), karena sultan berharap dengan ilmu yang diperolehnya ditanah suci itu kelak akan dapat membimbing dan mengajarkan kepada rakyat Banjar dan sekitarnya dalam hal ke agamaan (Islam).
Di tanah Suci Mekkah dan Madinah beliau belajar kepada para ulama yang terkenal, antara lain:
1. Syekh Athaillah bin Ahmad Al-Mihsri Al-Azhar
2. Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi Madinah. (pengarang kitab Hawasyil
madaniyyah)
3. Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammany Al-Madany, dalam bidang
tasawuf yang akhirnya mendapatkan Ijazah dengan kedudukan Khalifah
(wakil).
4. Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im Ad-Damanhuri.
5. Syekh Sayyid Abul Faydi Muhammad Murtadha' Az-Zabidi
6. Syekh Hasan bin Ahmad 'Akisy Al-Yamani
7. Syekh Salim bin Abdullah Al-Bashr.
8. Syehk Shiddiq bin Umar Khan.
9. Syekh Abdullah bin Hijazi bin Asy-Syarqawi
10. Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz Al-Maghrabi.
11. Syekh Sayyid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal.
12. Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani.
13. Syekh Abdul Ghani bin Syekh Muhammad Hilal.
14. Syekh 'Abid As-Shindi.
15. Syekh Abdul Wahab Ath-thanthawi.
16. Syekh Maulana Sayyid Abdurrrahman Mirghani.
17. Syekh Muhammad bin Ahmad Al-jawahir.
18. Syekh Muhammad Zayn bin Faqih Jalaludin Aceh.
Ketika di Mekkah beliau berkenalan dan bersahabat dengan penuntut-penuntut setanah air, antara lain: Abdul Wahhab Bugis dari Makasar, Abdus Samad dari Palembang (pengarang kitab Siyarus Salikin dan Hidayatus Salikin) dan Abdur Rahman Masri dari Betawi (jawi). Konon di Mekkah itu pula sempat berkenalan dan sekaligus berguru kepada Datu Sanggul (Abdus Samad), yang pada akhirnya beliu diberi kitab yang terkenal dengan sebutan Kitab Barencong oleh Datu Sanggul.
Setelah lebih 30 tahun belajar ditanah suci beliau akhirnya dapat menguasai keahlian diberbagai bidang ilmu agama seperti : ilmu fiqih, ilmu tasawuf, usul fiqih, cabang -cabang bahasa Arab seperti : nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain, serta ilmu falak (astronomi) dan ilmu umum seperti politik serta pemerintahan. Selesai mempelajari yang disebut diatas beliau pulang ketanah air bersama kawan-kawannya.
Sebenarnya beliau dan kawan - kawan tidak ingin pulang ketanah air, tetapi ingin melanjutkan belajar di Mesir, namun maksud tersebut terpaksa dibatalkan karena Syekh Sulaiman Al-Kurdi menyatakan bahwa ilmu mereka sudah dalam dan luas, lebih penting pulang ketanah air untuk memberi pelajaran dan membimbing masyarakat di daerah masing-masing.
Akhirnya mereka menuruti nasehat guru mereka itu. Setiba ditanah betawi (Jakarta) Muhammad Arsyad dan kawan-kawan disambut oleh para ulama dan orang banyak dengan gembira. Selama 60 hari berada di betawi (jakarta), beliau berkunjung kebeberapa Mesjid. Berikut beberapa karamah (keahlian) yang beliau miliki, beliau dapat membetulkan arah kiblat mesjid yang kurang tepat. mesjid yang beliau perbaiki arah kiblatnya adalah mesjid Jembatan Lima, Mesjid Luar Batang, dan Mesjid Pekojan.
Selanjutnya beliau menuju banjarmasin dengan menumpang kapal Belanda. Sampai ditengah laut jawa.kapten kapal bertanya. "ya Tuan haji besar! berapakah kedalaman laut jawa ini?" kata kapten kapal.(Haji Besar adalah gelar kehormatan bagi tuan guru yang menuntut ilmu di tanah Suci Mekkah). Sebelum menjawab beliau memandangi air laut jawa tersebut,kemudian beliau berkata "200 meter"jawab syekh Muhammad Arsyad.
Kapten kapal tersebut tidak langsung percaya dengan jawaban Syekh Muhammad Arsyad itu,akemudian dia mengambil meteran panjang dan mengukur kedalaman air laut tersebut.aSetelah diukur ternyata kedalaman air laut tersebut tepat 200 meter,asedikitpun tidak kurang atau lebih, Kapten kapal Belanda itu menggelengkan kepala mendengar jawaban Syekh Muhammad Arsyad. "tuan Haji Besar, anda orang hebat !" puji kapten kapal..'Dari warna airnya, bila air laut berwarna putih kebiruan kedalamannya 200 meter, seperti laut jawa ini bila kebiru-biruan maka kedalamannya mencapai 2000 meter, dan bila berwarna biru kedalamannya mencapai 2000 meter lebih' jawab Syekh Muhammad Arsyad dengan mantap. "Tuan ,Betul". Kata kapten kapal belanda itu kagum akan kecerdasan dan ilmu yang dimiliki beliau.
Pada bulan Ramadhan 1186 H (1773 M.) sampailah beliau di tanah Banjar. Kedatangan beliau disambut meriah oleh kerajaan beserta seluruh masyarakat.
Supaya Syekh Muhammad Arsyad leluasa mengembangkan ilmu yang telah diperolehnya, oleh sultan Tahmiddulah II beliau diberi sebidang tanah belukar diluar kota Martapura, tepat di tepi sungai menuju Banjarmasin. Tanah belukar itu dijadikan perkampungan tempat tinggal dan ditempat itu pula beliau dapat mengajarkan ilmu-ilmu yang yang telah didapatnya dengan membuka pengajian-pengajian. Disamping mengajar beliau juga seorang pengarang yang produktif, beliau mengarang kitab-kitab agama untuk bahan pelajaran bagi para penuntut ilmu, seperti:
1. Sabillal Muhtadin. Berisi tentang fiqih.
2. Risalah Ushuluddin. Kitab tauhid bahasa melayu tulisan arab.
Ditulis pada tahun 1188 H.
3. Tuhfatur Raghibin. Berisi tentang tauhid.ditulis pada tahun 1188 H.
4. Kanzul Ma'rifah. Berisi tentang ilmu tasawuf.
5. Luqthatul'Ajilan. Kitab khusus membahas fiqih tentang perempuan
6. Kitab Faraid. Berisi tentang tata cara pembagian waris.
7. Al-Qawlul Mukhatashar. Berisi tentang Imam Mahdi.
Ditulis pad tahun 1196 H.
8. Kitab Ilmu Falak. Berisi tentang astronomi.
9. Fatwa Sulaiman Kurdi. Berisi tentang fatwa-fatwa guru beliau Sulaiman Kurdi
10. Kitabun Nikah. Berisi tentang tata cara perkawinan dalam syariat islam.
Selain itu ada pula karya tulisan beliau dalam ukuran besar dan Al-Qur'an tulisan tangan beliau dalam ukuran besar dan dengan khath yang sangat indah di Museum Nasional, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Kitab - kitab beliau tersebut sampai sekarang masih dijadikan bahan kajian dan pelajaan, bahkan sebagai bahan pegangan dalam melaksanakan ibadah, terutama kitab Sabilal Muhtadin. Kitab Sabilal Muhtadin ini tersiar luas di Asia Tenggara bahkan sampai ke Mekkah dan Mesir, dan ini merupakan salah satu karamah (kemulian) beliau.
Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari mempunyai 11 (sebelas) orang istri, dan mempunyai 30 (tiga puluh ) orang anak, istri-istri beliau adalah :
1. Tuan Bajut.
2. Tuan Bidur.
3. Tuan Lipur.
4. Tuan Guwat.
5. Tuan Ratu Aminah.
6. Tuan Gandar Manik.
7. Tuan Palung.
8. Tuan Turiah.
9. Tuan Daiy.
10. Tuan Markidah.
11.Tuan Liyuh.
Karamah (Kemulian) beliau adalah makam beliau yang sampai sekarang sangat ramai diziarahi orang. Dengan ziarahnya orang-orang yang datang dari segala penjuru Kalimantan dan Luar Kalimantan, mereka membagi - bagikan hadiah pada penduduk Kalampayan yang ada disekitar makam itu. Hal ini adalah nikmat dan rizeki bagi masyarakat sekitar makam beliau, dengan kata lain, walau beliau sudah lama meninggal dunia, beliau masih dapat membantu penduduk kampung sekitar makam beliau.
Langganan:
Postingan (Atom)